Ada upaya merawat. Merawat keluarga. Merawat barisan/Sumber foto: LBH Makassar
Ada upaya merawat. Merawat keluarga. Merawat barisan/Sumber foto: LBH Makassar

Doa, Dapur, Kecemasan: Merawat di Bawah Bayang Penggusuran

Di tengah kecemasan, mereka merawat. Merawat keluarga. Merawat barisan.

Anastasyah Noeng, perempuan usia 60 tahun berhenti bekerja dari keuskupan karena menjaga rumahnya dari penggusuran.

Asri, perempuan usia 49 tahun sebagai ibu rumah tangga, dulu memasak untuk keluarga, hari ini juga memasak buat para penggerak yang bersolidaritas bersamanya menjaga rumah yang dia tempati dari penggusuran.

***

Pemukiman di sekitar Bara-baraya. Makassar/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Pemukiman di sekitar Bara-baraya. Makassar/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Suatu pagi, Januari 2017, di suatu sudut kampung Kota Makassar, Bara-baraya, Anastasyah Noeng sedang bersiap diri. Dari rumahnya dia akan berangkat ke Gereja Katedral Makassar. Di gereja Anastasyah bekerja di bagian dapur, menyiapkan makanan buat pastor, suster, dan tamu gereja. 

Kerjaan itu usai di sore hari, dan dia pulang seperti biasa. 

Di rumah, sepucuk surat sudah menanti kepulangannya. Surat yang akan mengubah sisa hidupnya.

Ratusan meter dari rumah Anastasyah, Asri telah beraktivitas sejak pagi. Mengurus kebutuhan empat anak dan suaminya. Bolak-balik dapur, memasak dan mengurus anak bayinya yang masih berusia setahun.

Di dapur, sementara Asri memasak makan siang buat keluarganya, dia mendengar ketukan pintu.

Saat itu, pukul 10.00. 

Di ambang pintu telah berdiri seorang tentara dengan sepucuk surat. Surat yang akan terus membayangi Asri. 

Rumah Asri dan Anastasyah terpaut tiga ratusan meter. Dipisah bekas kompleks asrama TNI AD, lapangan, dan tembok. Pemukiman yang ditempati Asri berdekatan dengan jalan utama, sementara pemukiman Anastasyah berada di belakang. Warga setempat membedakannya dengan sebutan arah: Depan dan Belakang.

***

Dari Flores, Lukas Noeng merantau ke Kota Makassar dan bekerja di bagian gizi Rumah Sakit Stella Maris, salah satu rumah sakit Katolik termasyhur di kota ini.

Dari gajinya, Lukas membeli sepetak tanah di utara Bara-Baraya, pada Tahun 1961.

Karena tanah yang dia beli masih tertutupi rawa-rawa, bersama istrinya, Katrina Noeng, dia menimbun lahan ini dengan tanah dari sebuah proyek pembangunan dekat situ.

Lahan yang kelak jadi tempat rumahnya, dikelilingi hamparan sawah, dan dibatasi bentangan tembok yang menjulang tiga meter. Memisahkan asrama Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat dan wilayah sipil. Orang-orang menandai wilayah permukiman Lukas dengan sebutan: Pinggir Tembok.

Di atas tanah inilah, Lukas mendirikan rumah berdinding anyaman bambu (gamacca), berlantai tanah, merah kecoklatan. Kelak menjadi tempat berlindung buat istri, bersama Anastasyah dan enam saudaranya. 

Rumah itu tak punya sekat, tetapi punya sebuah bale-bale, yang dibikin Lukas dari bambu dan diletakkan di tengah rumah. 

Di atas bale-bale ini, keluarga kecil Lukas berkumpul, menandaskan hidangan makan siang dan malam, melumat waktu, dan menanamkan pelajaran hidup Yesus. Sementara tembok tinggi milik tentara itu, jadi halaman belakang rumah kecil mereka, menyempitkan lahan tersisa dari rumah ini. Membentang, merahasiakan segala aktivitas militer di baliknya.

Bertahun-tahun berikutnya, Lukas mengajak sesama perantau Flores, hidup di Pinggir Tembok, dan segera membangun keakraban, dan berbaur dengan para perantau asal Toraja, dataran tinggi Sulawesi Selatan. Merekalah para Pinggir Tembok.

Anastasyah kemudian lahir di Tahun 1964, dan tumbuh di rumah ini. Dalam pelukan keluarga Katolik yang taat. “Bapak,” kata Anastasyah. “Adalah orang yang tidak menyerah.”

Foto dari bapak kandung Anastasia Noeng (62). Tahun 1950an, bapaknya yang berasal dari Flores merantau ke Makassar dan membeli tanah di Bara-baraya yang kini ditempati oleh Anastasia/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Foto dari bapak kandung Anastasia Noeng (62). Tahun 1950an, bapaknya yang berasal dari Flores merantau ke Makassar dan membeli tanah di Bara-baraya yang kini ditempati oleh Anastasia/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Yohana (53) berdiri di depan pagar rumah. Dahulu dia, Anastasia, dan saudaranya yang lain tinggal bersama di rumah ini/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Yohana (53) berdiri di depan pagar rumah. Dahulu dia, Anastasia, dan saudaranya yang lain tinggal bersama di rumah ini/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

***

Setelah menikah, Asri pindah ke Bara-baraya, mengikuti suaminya, Muhammad Nur, yang tumbuh besar di perkampungan kota ini. Asri berasal dari Moncongloe, Kabupaten Maros. Tumbuh dari keluarga Enrekang, satu dataran tinggi Sulawesi Selatan. Nur bertemu dengan Asri berkat seorang tua dari keluarganya.

Asri dinikahi Nur Tahun 1997, dan tinggal bersama di rumah permanen pemberian Santia, bibi Nur. Rumah ini bersebelahan dengan rumah pendahulu Nur, sang nenek yang jadi tokoh masyarakat setempat. Jadi tempat berkumpul atau tempat arisan para perantau Enrekang di Bara-baraya dan sekitarnya.

Nur besar di salah satu rumah bersama saudaranya yang kemudian berpencar. Santia yang tidak punya anak, memberi rumah ini ke Nur, dan segera membalik kepemilikannya.

Di rumah inilah, anak-anak Nur dan Asri lahir dan tumbuh bersama. Mengenyam hidup di kampung kota ini, menyaksikan Kota Makassar berubah wajah.

Di awal pernikahan, Asri sama sekali tak pandai memasak kecuali mie instan. Tapi cinta keduanya tumbuh bukan karena perkara memasak. 

Bagian depan rumah Asri dan Nur di wilayah Bara-baraya. Rumah ini ialah milik tantenya/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Bagian depan rumah Asri dan Nur di wilayah Bara-baraya. Rumah ini ialah milik tantenya/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

***

Tempat berdoa di kamar Anastasia. Para anggota keluarga biasanya bergantian untuk berdoa di sana. Dulu, mereka berdoa di satu ruangan bersama tapi karena dinding dan atap mulai rusak oleh air hujan yang bocor, tempat berdoa akhirnya dipindahkan ke kamar pribadi Anastasia/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Tempat berdoa di kamar Anastasia. Para anggota keluarga biasanya bergantian untuk berdoa di sana. Dulu, mereka berdoa di satu ruangan bersama tapi karena dinding dan atap mulai rusak oleh air hujan yang bocor, tempat berdoa akhirnya dipindahkan ke kamar pribadi Anastasia/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Pada sudut rumah Anastasyah, terdapat sebuah meja kecil. Tempat patung Yesus dan Bunda Maria menjulang. Di hadapan patung-patung itu, keluarga Anastasyah berkumpul, saban waktu. Bersimpuh, merapalkan doa dalam hati, menggenggam rosario, menyentuh setiap manik.

Anastasia Noeng (62) tengah berdoa di tempat berdoa keluarganya/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Anastasia Noeng (62) tengah berdoa di tempat berdoa keluarganya/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Anastasia Noeng (62) tengah berdoa di tempat berdoa keluarganya./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Anastasia Noeng (62) tengah berdoa di tempat berdoa keluarganya./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Selain bale-bale, sudut inilah yang jadi tempat kesukaan Anastasyah. Dia menemukan kedamaian di luar dimensi manusia.

Beberapa tahun kemudian, tembok tinggi itu kemudian dirobohkan dan pemerintah membangun jalan di belakang rumahnya. Lukas memugar rumahnya dan mengubah arah rumah itu menghadap jalan baru, berseberangan markas Komando Rayon Militer 08 Makassar.

Rumah Anastasia Noeng berhadapan langsung dengan Koramil/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Rumah Anastasia Noeng berhadapan langsung dengan Koramil/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Sementara Asri, setiap hari menemani Nur berjualan pisang dan kelapa di pasar, meneruskan usaha keluarga Nur. Perlahan, Asri mulai tahu memasak berbagai jenis hidangan. Sepulang dari pasar, Asri menghabiskan sisa waktu di dapur, karena berada di dapur hatinya bisa tenang. Karena dia sedang merawat keluarganya.


Baca juga: Anak Bara-Baraya di Tengah Bayang-bayang Penggusuran


***

13 Desember 2016. Subuh hari. Derap langkah sepatu lars merebak dan memecah keheningan subuh perkampungan kota ini. Para tentara berpakaian loreng berbaris di depan rumah Anastasyah. 

Dari balik jendela, Anastasyah mengintip. Dia takut tetapi tak tahu apa yang sedang terjadi. “Seperti mau perang.”

“Saya sering melihat tentara berbaris seperti ini. Tapi yang ini,” kata Anastasyah. “Jauh beda.”

Di pagi itu, ketika tentara berbaris, ia tidak hanya datang dengan kekosongan dan senjata, tetapi turut membawa teror yang hingga hari ini belum hilang.

Pagi itu, asrama tentara Bara-baraya digusur. Para pemukim dipaksa keluar. 

Suatu pagi setelah penggusuran itu, Anastasyah berangkat kerja dan ketika pulang, dia diperlihatkan secarik surat yang telah menantinya.

Anastasyah Noeng membuka surat itu. Tubuhnya gemetar.

Seperti tentara di subuh tadi, huruf-huruf di surat itu berbaris dan meneror. Memaksa penerima surat segera mengosongkan rumahnya, sebab mereka tinggal di atas tanah okupasi tentara. 

Anastasyah tersungkur. Gemetar dan tak percaya. Seisi rumah jatuh dalam kesedihan. Dan semua ingatan tentang rumah ini menyembul dan mengaduk-ngaduk hati mereka. Rumah ini bersama ingatannya akan melesat pergi dengan cara yang tak adil.

“Tidak ada apa-apa didengar, tiba-tiba ada surat yang suruh kita pergi dari rumah,” Anastasyah kesal. 

Dia tak menyangka, rumah yang berada di luar tembok asrama–Pinggir Tembok, telah masuk dalam antrian penggusuran.

Dalam pikiran kalut, dia menelpon Hana Noeng, adik bungsunya yang tinggal di Flores. Di ujung telpon, Hana heran dan kebingungan. 

“Bukannya rumah kita ini, di luar dari tembok asrama?” kata Hana. 

Berhari-hari kemudian, surat yang lain berdatangan. Tidur Anastasyah tak lagi lelap. Teror, kecemasan, hari-hari berdatangan. Bikin penyakit lambungnya menguat.

Sejak itu, dia dan anak-anaknya tak lagi tidur di kamar, dan memilih mengistirahatkan tubuhnya ramai-ramai di ruang tamu. Dalam dekapan kedamaian semu, dan was-was yang tak pernah tutup mata. 

Ruang keluarga dari rumah Anastasia Noeng (62). Semenjak mendapatkan Surat Peringatan dari Koramil, setiap malam Anastasia tidur di ruang keluarganya agar mudah mendengar suara jika mereka tiba-tiba digusur/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Ruang keluarga dari rumah Anastasia Noeng (62). Semenjak mendapatkan Surat Peringatan dari Koramil, setiap malam Anastasia tidur di ruang keluarganya agar mudah mendengar suara jika mereka tiba-tiba digusur/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Dia tak ingin, penggusuran terjadi ketika mereka lelap di kamar. “Setidaknya kami sudah siap.”

Pertengahan tahun 2017, Anastasyah akhirnya memilih berhenti dari pekerjaannya. Dia takut rumahnya tergusur di saat dia sedang bekerja dan kehilangan waktu menenangkan anak-anak dan saudaranya.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


***

Setelah penggusuran asrama, Asri dan para tetangga dirundung kecemasan. Mereka khawatir, penggusuran segera merambat ke pemukiman mereka, seperti desas desus kabar yang tersiar. 

Nur, suami Asri lalu menghubungi seorang tentara kenalannya.

“Apakah rumah kami juga digusur?” 

“Tidak,” kata tentara itu. “Hanya asrama saja.”

Jawaban itu menenangkan hati mereka, setidaknya sampai seorang tentara datang mengetuk pintu rumah dan memberi surat peringatan ke warga dan Asri yang sedang memasak di dapur buat keluarganya.

Tentara, dalam surat itu, meminta mengosongkan rumah, karena tentara akan mengembalikan lahan yang mereka tinggali ke pemilik tanah.

Hari-hari setelah surat itu dibaca, Asri jatuh sakit. Penyakit lambungnya kumat berhari-hari lamanya. 

Nur yang duduk di depan teras rumahnya./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Nur yang duduk di depan teras rumahnya./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Di hari itu, puluhan keluarga kecil di sudut kota ini berkabung dalam kesedihan. Sekolah diliburkan. Usaha macet. Bara-baraya yang ramai dan saling merawat berubah wajah.  

Tetapi Nur tidak ingin kesedihan itu berlangsung lama. Ini harus dihentikan.

Nur mengajak warga-warga yang menerima surat untuk berkumpul. Mendirikan rapat dan mulai mengorganisir diri.

Tetapi, di rumah, teror masih terpacak di setiap sudut dan melekat. Nur, Asri, dan anak-anaknya tidur di ruang tamu. Mereka ingin–ketika hari itu tiba–telah siap menghadang, sebisa, secepat dan sekuat mungkin. 

Pagar rumah Nur dan Asri di wilayah Bara-baraya./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Pagar rumah Nur dan Asri di wilayah Bara-baraya./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Spanduk "Bara-baraya Menolak Tergusur" di kabel listrik sekitar wilayah Bara-baraya./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Spanduk “Bara-baraya Menolak Tergusur” di kabel listrik sekitar wilayah Bara-baraya./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

***

Sejak awal tahun 2017, warga Bara-baraya mendapat ancaman penggusuran. Mereka dipaksa angkat kaki dari rumahnya sendiri oleh Kodam XIV Hasanuddin. 

Dan ini bermula ketika Danramil mengeluarkan Surat Edaran Perintah Pengosongan 28 rumah, yang dihuni 271 jiwa dari 67 keluarga, pada 1 Februari 2017.

Surat yang datang ke rumah Anastasyah Noeng dan kemudian Asri. 

Lewat surat ini, Kodam VII Wirabuana (sekarang Kodam XIV Hasanuddin) Makassar, mengklaim bahwa tanah yang ditempati warga merupakan bagian dari tanah okupasi Asrama TNI-AD Bara-Baraya. 

Rentetan surat terus menyatroni warga. Surat berisi rencana penertiban tanah dan surat peringatan (SP) pertama, kedua dan ketiga. Isinya sama, warga harus patuh dan hengkang dari rumahnya. Di antara fase ini, warga telah mengorganisir diri ke dalam kelompok masyarakat sipil. Tekanan dari tentara melunak, meski meninggalkan kecemasan. Di wilayah pemukiman Asri, seorang tentara yang mengantar surat, dikejar puluhan warga.

Kodam XIV Hasanuddin, akhirnya diminta oleh banyak pihak termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) untuk menghentikan intervensi terhadap warga. 

Salah satu aksi protes warga Bara-baraya/Dok: Aliansi Bara-baraya Bersatu
Salah satu aksi protes warga Bara-baraya/Dok: Aliansi Bara-baraya Bersatu

Namun tak berselang lama, seseorang bernama Nurdin Dg. Nombong mengajukan gugatan ke pengadilan, ditujukan kepada warga Bara-baraya, pada tanggal 21 Agustus 2017. 

Dasar gugatan Nurdin Dg. Nombong itu adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 4 yang diterbitkan ulang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar pada tahun 2016. Dengan dalih, sertifikat sebelumnya telah hilang, dan menganulir seluruh riwayatnya.

Jika menoleh ke belakang, SHM No. 4 ini merupakan perolehan hak hukum kolonial “Eigendom Verponding.” Eigendom sendiri adalah istilah yang dikenal dalam hukum kebendaan perdata barat, yang bermakna “hak milik.” 

Moedhinoeng Dg. Matika, selaku orang tua Nurdin memiliki “Eigendom” bernomor 2906 yang terbit tahun 1926, di era Kolonial Belanda, yang kemudian dikonversi menjadi SHM pada tahun 1965. 

Tahun 1959, Kodam XIV Hasanuddin, menyewa tanah seluas 28.979 meter persegi dalam SHM ini buat membangun barak semi-permanen yang kelak diperbaharui tahun 1967. 

Puluhan tahun berlalu. 

Warga Bara-baraya saat long march lawan penggusuran/Foto: Dwiki Luckianto Septiawan
Warga Bara-baraya saat long march lawan penggusuran/Foto: Dwiki Luckianto Septiawan

Tahun 2016, pihak Kodam XIV Hasanuddin ingin mengembalikan tanah sewaan tersebut. Dari sinilah pihak Kodam mengklaim tanah yang ditempati warga bagian dari tanah okupasi mereka. 

Namun di sisi lain, sekitar tahun 1960-1970an, warga sebenarnya telah melakukan transaksi jual beli tanah dengan Daniah Dg. Ngai sebagai salah satu ahli waris dari Moedhinoeng Dg. Matika, disaksikan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan dibuktikan dengan Akta Jual Beli (AJB). 

Objek jual-beli tersebut berada di luar dari tanah yang disewa oleh pihak Kodam XIV Hasanuddin. 

Gugatan Nurdin Dg. Nombong kemudian ditolak pihak Pengadilan Negeri(PN) Makassar, dengan alasan batas-batas tanah sengketa tidak jelas dan warga memiliki alas hak yang sah. Nurdin mengajukan banding, tetapi pihak pengadilan juga menolak. 

Dua tahun kemudian, 10 Juli 2019. Nurdin kembali mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Gugatan lagi-lagi ditolak pengadilan, namun Nurdin mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Makassar. 

Tiba-tiba 9 september 2020, pihak Pengadilan Tinggi mengabulkan gugatan tersebut dan membatalkan putusan PN Makassar. Bagi LBH Makassar–kuasa hukum warga, putusan ini menunjukkan inkonsistensi Pengadilan Tinggi Makassar dan “dapat berdampak pada ketidakpastian hukum,” menurut Muhammad Ansar, dari LBH Makassar.

Selepas itu, warga mendorong kasasi ke tingkat Mahkamah Konstitusi, tetapi berujung buntu. “Ini bersamaan dengan adanya darurat kesehatan akibat pandemi Covid-19, di mana warga dilarang untuk berkumpul. Demi menaati aturan tersebut, warga bersama solidaritas mengendorkan pengawalannya dalam bentuk aksi demonstrasi, dalam proses banding,” kata Ansar.

“Kami menduga kuat diterimanya permohonan banding penggugat/pembanding (Nurdin Dg. Nombong) oleh PT diakibatkan oleh salah satunya lepasnya kontrol atau pengawasan publik, khususnya warga dan solidaritas.” 

Nurdin Dg. Nombong dikabarkan wafat kemudian. Penggugat beralih ke Itje Siti Aisyah, yang diklaim sebagai ahli waris. Selama prosesnya, Itje diwakili oleh kuasa hukumnya, Agusta R. Lasompuh, S.H., M.H.


Baca juga: Bara-baraya Tak Sekadar Tempat Tinggal


***

Tahun berganti tahun. Proses hukum terus berjalan. Di luar sidang, warga, aktivis, dan mahasiswa yang bersolidaritas menggaungkan penolakan, agar pengadilan bisa menimbang dengan jernih. Tiap jadwal sidang, warga berbondong-bondong mengepung. Berdemonstrasi agar hakim bisa adil.

Anastasyah, nyaris tak pernah ketinggalan. Dia bolak balik pengadilan, tetapi apa yang dia dapat justru ketidakpastian.

“Hakim yang adil itu ternyata hanya ada di atas(Tuhan),” kata Anastasyah. “Sekarang saya hanya minta pengadilan Tuhan.” 

Bollo.id mengunjungi rumahnya, rumah yang dulunya rawa-rawa, ditimbun tanah sisa proyek, dibangun dengan segala kekurangan, berubah arah dan kini ditempati Anastasyah. Dua orang tuanya telah meninggal. 

Katrina Noeng, Ibu Anastasyah/Saskia Salsyam – Bollo.id

Ibunya, yang baru-baru ini wafat berpesan, kepada Anastasyah, kepada saudara-saudaranya. “Jangan pernah lepas rumah ini. Bapak kamu setengah mati membangunnya.”

Apa yang kami saksikan di rumah itu ketika berkunjung kata Anastasyah, telah banyak berubah dan tidak terurus.

Anastasyah tak ingin merenovasi rumahnya jika rusak. Atap dapur yang bocor dibiarkan dan dia hanya memindahkan kompor dan peralatan dapurnya untuk menghindari tampias air ketika hujan. 

Anastasia dan Yohana tengah membuat teh hangat di dapur/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Anastasia dan Yohana tengah membuat teh hangat di dapur/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Anastasyah juga telah mengemas pakaian, surat-surat berharga, harta benda ke dalam sarung dan tas. Jika hari itu tiba, dia masih sempat menyelamatkan sebagian hartanya. 

Ruangan yang dulu ialah ruang berdoa bersama kini menjadi gudang. Tembok dan atapnya telah rusak karena air hujan yang bocor/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Ruangan yang dulu ialah ruang berdoa bersama kini menjadi gudang. Tembok dan atapnya telah rusak karena air hujan yang bocor/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Ruangan yang dulu ialah ruang berdoa bersama kini menjadi gudang. Tembok dan atapnya telah rusak karena air hujan yang bocor/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Ruangan yang dulu ialah ruang berdoa bersama kini menjadi gudang. Tembok dan atapnya telah rusak karena air hujan yang bocor/Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Di sudut lain, pada sebuah kamar yang mereka gunakan untuk ibadah, ditinggal tak terurus. 

“Takut ka, ku perbaiki rumahku, baru besoknya malah digusur,” kata Anastasyah.

Ketika berbicara pada kami, setiap ungkapan Anastasyah diiringi nada getir, tetapi dia selalu berusaha menyembunyikannya dalam tabir senyum dan keteduhan. 

Apa yang dia perlihatkan ke kami juga dilakukannya ke anak-anaknya, ke keluarganya. Dia tak ingin kecemasannya menular. Anastasyah harus menjaga keluarga ini tetap kuat. 

“Saking cemasku, kadang biar pegang panci gemetar ka, tapi tidak ku kasi tahu anak-anakku,” ucap Anastasyah. 

Anastasyah sempat berada dalam situasi yang sangat lelah. Sejak tahun 2017 hingga hari ini, tidurnya tak pernah nyenyak, kecemasan menguras energinya saban hari. Delapan tahun hidup dalam kecemasan membuat tubuhnya melemah, tetapi dia selalu dikuatkan oleh Hana, adiknya. 

“Jangan kita goyah, kalau kita goyah, kita kalah,” kata Handa pada Anastasyah. “Kebenaran itu milik Tuhan.” 

Anastasia Noeng (62) bersama adiknya, Yohana Noeng (53) di ruang tamu. Yohana yang tinggal di Labuan Bajo beberapa kali datang ke Makassar untuk menemani Anastasia./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Anastasia Noeng (62) bersama adiknya, Yohana Noeng (53) di ruang tamu. Yohana yang tinggal di Labuan Bajo beberapa kali datang ke Makassar untuk menemani Anastasia./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Di sela pembicaraan kami, salah satu putranya lewat. “Itu anak saya,” kata Anastasyah. 

“Dulu dia bercita-cita jadi tentara. Setiap melihat bendera dia pasti hormat.”

“Sekarang dia tidak mau lagi. Mungkin dia kecewa.”

***

“Saya,” kata Asri. 

“Kadang tidak bisa ikut rapat atau demo, jadi saya cuma pergi kumpulkan beras dari warga-warga terus masak untuk orang-orang yang pergi demo.” 

Sejak surat itu datang, Asri–dan para perempuan di Bara-baraya kini merawat dua hal: keluarga dan tungku perlawanan. 

“Saya memang dulu tak tahu masak,” kata Asri. 

“Tapi sekarang saya berusaha memasak untuk orang-orang yang bantu kita melawan.” 

Seperti milik Anastasyah dan rumah-rumah warga lainnya–terutama setelah insiden kebakaran yang melalap rumah warga yang masuk rencana penggusuran, akan berwajah sama. Kurang terurus.

Tetapi situasi ini bukan memecah keluarga mereka. Hari-hari, para laki-laki terus bersiaga. Anak-anak mereka ikut ronda saban malam. 

Dan Asri, yang penyakit lambungnya kadang kambuh, terutama ketika mendengar desas-desus penggusuran, tak pernah menyesali perjuangannya hanya lewat sepetak ruangan.

Sebab, memasak bagi Asri mampu menghilangkan kecemasan dan sakit perutnya. Dan ketika memasak untuk para barisan solidaritas, dia tahu, dia tidak hanya sekadar memasak. 

“Yah, merawat,” kata Asri.

(Kepada kami, Asri menyatakan tidak ingin difoto)

***

Kini, setelah warga menemukan klaim bahwa terjadi pemalsuan gugatan dan laporan polisi telah masuk ke Polda Sulawesi Selatan, warga masih bertahan. 

Itje Siti Aisyah yang disebut-sebut sebagai ahli waris Nurdin Dg Nombong, menurut klaim Aliansi Bara-baraya Bersatu, tidak terlibat dan mengetahui perkara ini. Lewat rekaman suara dan bukti dokumen yang menunjukkan perbedaan tanda tangan di surat kuasa dan tanda pengenal, warga memastikan gugatan ini dilakukan ugal-ugalan. Dari sinilah, laporan polisi bermuasal, dan temuan Aliansi jadi bukti.

Selain ke polisi, warga juga melayangkan gugatan ke pengadilan atas temuan ini.

Long march Aliansi Bara-baraya Bersatu/Arya Nur untuk Bollo.id
Long march Aliansi Bara-baraya Bersatu/Arya Nur untuk Bollo.id

Bagaimanapun, selama hampir delapan tahun, solidaritas kian menguat. Melintasi batas administrasi, agama, budaya, dan etnis. Dari satu titik tapak yang sedang menentang perampasan ruang hidup ke ruang yang lain, dari lapak baca di pinggiran kota hingga panggung musik nasional; solidaritas ini tengah memandang satu musuh: ketidakadilan dan perlawanan ke mafia tanah.

Akhir Agustus lalu, Pengadilan Negeri Makassar memutus menolak gugatan warga terhadap gugatan yang mengatasnamakan Itje Siti Aisyah. Menurut beberapa tafsir di media, putusan ini membuka jalan bagi proses eksekusi. 

Keputusan ini memicu protes massa di PN Makassar. Beberapa pendamping menilai putusan tersebut “mencederai rasa keadilan” dan menilai masih ada ruang bukti yang dapat dipersoalkan. 

“Hingga saat ini, warga masih melakukan upaya hukum berupa perlawanan pihak (derden partij) atas permohonan eksekusi yang dilayangkan oleh Itje Siti Aisyah,” kata Muhammad Ansar, dari LBH Makassar. 

“Dan [juga berjalan] pelaporan di Polda mengenai dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu dalam akta otentik (dugaan pemalsuan tandatangan dan dugaan pemalsuan memberikan keterangan palsu).”

Media melaporkan bahwa menurut PN Makassar perkara telah inkracht (berkekuatan hukum tetap), sehingga eksekusi dapat dilaksanakan, meski menanti permohonan dari pihak Itje Siti Aisyah.

“Beberapa waktu lalu,” kata Ansar baru-baru ini. “Warga akan mengajukan upaya banding.”

11 September 2025, Polda Sulsel bikin gelar perkara khusus untuk laporan dugaan pemalsuan yang dilayangkan warga sebelumnya. 23 September 2025, surat Polda Sulsel datang ke rumah Andarias, seorang warga Bara-Baraya yang tergabung dalam Aliansi Bara-baraya Bersatu–tetangga Anastasyah dan juga bernasib sama.

Surat itu menyampaikan: menghentikan penyelidikan atas pemalsuan surat, sebagaimana dilaporkan oleh warga bersama LBH Makassar, sebagai kuasa hukum warga.

“Intinya hanya dibahasakan belum ditemukan adanya peristiwa pidana,” kata Andarias, 25 September 2025.

“Berarti bukti yang pihak Bara-baraya sampaikan tidak dianggap.”

“Polisi tidak berubah,” kata Andarias. “Indonesia makin kelam.”

Andarias saat memaparkan kronologi Bara-baraya di Festival Media 2025, di Benteng Ujung Pandang pada 14 September 2025/Dok: Divisi Media dan Kampanye Fesmed 2025
Andarias saat memaparkan kronologi Bara-baraya di Festival Media 2025, di Benteng Ujung Pandang pada 14 September 2025/Dok: Divisi Media dan Kampanye Fesmed 2025

Setidaknya menurut data terakhir, Aliansi Bara-baraya Bersatu menaksir ada 196 orang yang akan terkena dampak–jika terjadi penggusuran. Kehilangan tempat tinggal dan segala yang tertanam di sana. 

12 balita. 27 anak. 27 remaja. 116 dewasa. Dan 14 lansia. 

Anastasyah dan Asri berada di antaranya, bersama nama-nama lainnya yang menolak kalah.[]

Anastasia (62) mengangkat jemuran di teras rumahnya agar tidak terkena air hujan./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id
Anastasia (62) mengangkat jemuran di teras rumahnya agar tidak terkena air hujan./Aziziah Diah Aprilya untuk Bollo.id

Dalam laporan ini, fotografer Aziziah Diah Aprilya terlibat. Dia seorang fotografer, penulis, dan kurator yang berbasis di Kota Makassar.

Jika kamu ingin mengikuti perkembangan Bara-baraya kamu dapat melihat instagram Aliansi Bara-baraya Bersatu, klik di sini: Instagram Barabaraya Bersatu.


Editor: Agus Mawan W


Saskia Salsyam

Saskia Salsyam adalah jurnalis di Bollo.id.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam