Bollo.id — Ahmad Qori, terdakwa dalam kasus Kekerasan Seksual (KS) siswa difabel di SLB Laniang Makassar, telah divonis 15 tahun penjara. Putusan tersebut sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Serta denda sebesar Rp100.000.000, dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan,” bunyi salinan putusan yang dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Makassar.
Pada sidang vonis yang digelar, 6 Agustus 2025, Ahmad Qari dinyatakan bersalah atas dakwaan tunggal dengan pemberatan, yaitu Pasal 6 huruf c juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b, e, g dan h UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Menyatakan terdakwa Ahmad Qari telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan atau menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain,” kata Hakim Ketua Heriyanti di Ruang Oemar Seno Adji, PN Makassar.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Hakim satu per satu membacakan unsur-unsur pemberatan yang terpenuhi. Salah satunya, unsur e. Unsur e adalah dilakukan lebih dari satu kali atau dilakukan terhadap lebih dari satu orang. Unsur tersebut dinyatakan terpenuhi saat hakim ketua membacakan kronologi peristiwa yang terdakwa lakukan kepada korban pada Juni dan November 2024.
“(Terdakwa) memegang pergelangan tangan korban dan mencakar korban,” tambah hakim. Akibat dari itu, korban mengalami trauma. “Berdasarkan hasil visum et repertum tanggal 13 November 2024 yang ditetapkan oleh dokter Martinus RS Bhayangkara bahwa adanya stres pasca trauma akibat yang dialami,” lanjut hakim.
Baca juga: Menanti Keadilan Difabel Korban Kekerasan Seksual Guru SLB di Makassar
“Keterangan saksi ahli yang menyatakan berdasarkan hasil visum et repertum dan dihubungkan dengan video rekaman yang diperlihatkan dan diperdengarkan di depan persidangan dan majelis hakim bahwa terdakwa telah membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya,” kata hakim lagi.
“Dengan demikian, unsur menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain telah terpenuhi.”
Diketahui, saksi ahli yang hadir dalam sidang adalah Joko Maharto, Ahli Psikiatri RS Bhayangkara Makassar. Ia hadir dalam pemeriksaan saksi pada 7 Mei 2025. Setelah sidang hakim ketua membacakan putusan dan meminta respons penasihat hukum terdakwa. “Pikir-pikir,” kata Andi Alamsyah di akhir sidang.
Restitusi
Terdakwa diminta membayar restitusi sebesar Rp87.279.000 dalam tuntutan jaksa. Apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama satu tahun. Menanggapi restitusi, pendamping hukum korban mengatakan, pemulihan pascatrauma yang dimuat di restitusi tuntutan seharusnya juga dimuat dan dibacakan dalam putusan hakim.
Menurutnya, hakim hanya fokus pada lamanya hukuman penjara, tanpa memasukkan kewajiban pelaku memberi restitusi dalam amar putusan.
“Vonis maksimal sesuai dengan tuntutan JPU, tapi putusan 15 tahun ini tidak mencakup restitusi untuk korban sehingga ini memberikan kesan kalau majelis hakim tidak mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan pemulihan bagi korban. Nah pemulihan ini sebenarnya menjadi kebutuhan paling penting bagi korban,” kata Koordinator Bidang Perempuan, Anak, dan Disabilitas LBH Makassar, Ambara Dewita Purnama kepada Bollo.id, Jumat, 8 Agustus 2025.
Ambara menekankan pemulihan korban karena korban tidak mendapatkan hak pemulihannya selama proses penanganan perkara hingga pascakejadian. “Saat ini pemulihan psikisnya korban itu tidak dilanjutkan karena keterbatasan penerjemah bahasa isyarat di UPTD PPA Makassar,” tambahnya.
Editor: Sahrul Ramadan