Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene
Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene

Yang Bertahan di Dapur: Perempuan dan Banjir Yang Enggan Surut

Banjir bukan hanya menggerus sawah dan dapur, tetapi juga perlahan mengikis keinginan untuk tinggal dan berumah di kampung sendiri.

Di tengah banjir yang tak pernah benar-benar surut sejak Februari 2024, perempuan-perempuan dari Tanah Tua Malangke tetap berdiri di dapur-dapur mereka. Sementara desa-desa perlahan kosong ditinggal warganya yang mengungsi atau pergi mencari hidup baru. 

Bollo.id – Baru saja lampu dapur milik Nisa menyala, setelah padam listrik sejak siang hari di Desa Petta Landung, desa paling terdampak banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara, Minggu 8 Juni 2025. “Sudah biasa terjadi,” ucapnya sembari mengoreksi rasa di balik wajan. 

Ia sedang menyiapkan makan malam. “Mangu nasi e’ nataro mate lampu (hangus nasi karena mati lampu),” sajinya tersenyum di ruang tengah—bagian rumah yang pondasinya lebih tinggi daripada dapur. 

Ia berbalik lagi ke dapur mengambil menu lain untuk disajikan. Bolak balik lebih dari enam kali mungkin. Setiap langkahnya bersentuhan dengan air yang menggenang di dapurnya. Banjir yang datang sejak Februari 2024 belum pernah benar-benar surut.

“Hancur semua ini kakiku he. Baru sudah kering kemarin, ini mau lagi mulai kulihat. Malu-malu ki kalau keluar dilihat orang apalagi kalau tidak pakai sepatu,” ulas Nisa sambil memeriksa perih di kakinya. 


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Rasa perih itu semakin menjadi, tetapi dapur tidak bisa ditinggalkan. Aktivitas yang intens di dapur saat menjelang dan sesudah lebaran (memasak, mencuci, menjemur, mengambil air bersih), membuatnya mau tidak mau terus berkontak dengan banjir. 

Nisa adalah garda terdepan urusan domestik di rumahnya. Tak sekali dua kali, tetapi setiap hari, setiap bulan, terus menerus selama bertahun-tahun ia harus bergumul dengan banjir dan lumpur untuk hal-hal dasar rumah tangganya: menyalakan kompor, mencuci piring, dan menjemur cucian. 

Tak hanya tubuhnya yang hancur, sapu ijuknya juga hancur terendam banjir. Jika sudah mendesak, ia akan menelepon jasa titip barang dari luar kampung, meskipun harganya bisa lebih mahal lima sampai sepuluh ribu rupiah per item. 

“Adamaka setahun tidak pergi pasar Belawa, terakhir ka enjak pasar itu tahun kemarin,” ceritanya.

Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene
Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene

Akses ke luar kampung makin sulit. Dari tiga jalur keluar, hanya satu yang tersisa, dan itu pun jauh serta rusak. Untuk menjaga agar dapurnya tetap hangat, Nisa kini sepenuhnya bergantung pada jasa titip dari luar desa. 

Napanrasai ki (merasakan) itu, misalnya beras, naik 20 mi itu (harga beras per kilogram),” keluhnya. 

Nisa tak pernah menyangka akan sampai pada titik harus membeli beras. Sawah suaminya dulu cukup untuk makan setahun. Bahkan tetangga pun biasa saling berbagi hasil panen. Membeli sayur pun hampir tak pernah dilakukan. 

“Sebenarnya kita tidak beli sayur mki andaikata tidak banjir begini, tidak beli lombok mki,” tambahnya lirih. 

Di sela cerita tentang lumpur, banjir, dan dapur, Nisa menyebut soal anak-anak. Ada semacam jeda di suaranya ketika bicara soal sekolah yang nyaris tidak berfungsi lagi. “Nda tahu kedepannya itu, mungkin tidak adami tahun depan anak kelas 1-nya. Ini saja tinggal 5 mami anak SD,” ucapnya pelan. 

Nisa juga seorang guru di SD 171 Salu Bance, sekolah yang masih bertahan di tengah banjir sekitar 40 centimeter. Beberapa muridnya telah pergi, ikut bersama orang tuanya ke luar desa. Ada yang ke Kalimantan atau Morowali. 

Adapun mereka yang bertahan, menyaksikan satu per satu teman-temannya menghilang dari bangku sekolah. Saat saya menyisir Dusun Salu Bance menjelang senja, yang terlihat hanyalah lansia. 

Mereka duduk diantara gelap lampu, termenung di teras rumah panggung, menghadap jalan kecil yang kini lebih sering jadi aliran air. Rumah-rumah di sekitar mereka sunyi, rumah ibadah juga sepi. 

Pejabat desa Petta Landung mengamini. Katanya kebanyakan mereka yang bertahan adalah orang tua yang sudah tidak bisa bepergian jauh dan tidak lagi produktif jika harus bekerja untuk orang lain. 

Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene
Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene

Banjir bukan hanya menggerus sawah dan dapur, tetapi juga perlahan mengikis keinginan untuk tinggal dan berumah di kampung sendiri. Tapi tidak semua bisa pergi. Nisa, sama seperti para lansia dan banyak perempuan lainnya, memilih tinggal. Atau mungkin tidak punya pilihan lain selain tinggal. 

“Begitu semua orang di sini, karena yang tinggal itu tunggu hasil dari luar mami. Mau keluar juga tidak bisa tongmi kerja,” ujarnya.

Di tengah ekonomi desa yang lumpuh, perempuan mengambil peran penjaga ritme harian di keluarganya. Mereka memastikan anak-anak tetap makan, tetap sekolah, memastikan pakaian tetap kering, dan dapur tetap menyala dalam karam banjir. 

“Seandainya tidak banjir, daerah ini pasti meningkat,” katanya lirih, seolah berkata pada dirinya sendiri. Di wajah Nisa, saya melihat kelelahan yang tidak dikatakan. Namun ia tetap berdiri, tetap bolak-balik dari dapur ke ruang tengah, menyajikan makan malam meski setiap langkahnya begitu perih. 

Yang Meninggal Saja Terdampak Apalagi yang Hidup

“Aman ji lorong tapi lahan? Sawit-sawit tenggelam. Motor tidak bisa lewat. Awal banjir itu motorku masih kusayang-sayang, tapi sekarang terobos saja, sudah lebih satu tahun begini tidak bisaki apa-apa,” Ucap Marlinda, warga Desa Giri Kusuma, salah satu desa yang juga terendam banjir. 

Di teras rumahnya, Marlinda duduk sambil menatap jalanan lengang. Di hadapannya bukan cuma air yang naik-turun seperti ombak harian, tapi juga kehidupan warga yang pelan-pelan ikut surut. 

“Ada juga warga yang keluar dari desa. Di Sumber Sari 3 atau 4 sudah pergi cari hidup. Ibu bidan juga pindah. Pustu-nya tenggelam. Tapi untungnya masih adaji bidan,” tuturnya sembari mengelus perutnya yang membuncit. Ia hamil besar. 

Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene
Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene

Air juga menggenang di posyandu. “Kalau air tinggi begini, posyandu tetap jalan tapi sasaran menurun. Biasanya ada 50 sasaran bayi dan balita, tapi karena banjir kurang sekali yang datang.”

Kantor desa pun tak luput dari genangan. “Airnya sampai di atas mata kaki. Tapi pelayanan tetap jalan, istilahnya dinas di atas, seksi di bawah,” Marlinda tertawa kecil. “Mau bagaimana, kantor desa juga kemasukan air.”

Sebanyak 20 rumah di sekitar pasar lama terendam. Sebagian besar penghuninya mengungsi ke dalam kampung. Mereka tidak sepenuhnya meninggalkan rumah, hanya bergeser sementara—karena, menurut Marlinda, “Tidak semua mau tinggalkan rumahnya.”

Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene
Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene

Banjir bukan hanya soal tempat tinggal, tapi juga soal makan dan akses. Jalanan desa rusak, berlubang, dan jembatan nyaris ambruk. Padahal itulah satu-satunya akses keluar masuk desa. Truk sawit, mobil sayur, material bangunan, semuanya bergantung pada jalan yang sama.  

Rumah Marlinda sendiri memang tidak tergenang. Tapi kebunnya, tenggelam. “Apa mau dimakan?” katanya pendek. Nafasnya sedikit berat. Harga naik, hasil panen hilang, belanja juga susah. Sama seperti Nisa, Marlinda mengaku sudah  berbulan-bulan tidak ke pasar. 

Dampak banjir ini bahkan terasa sampai ke pemakaman. Marlinda bilang, ada warga meninggal. “Jenazahnya diangkut pake perahu, pake ki peti. tetap dikuburkan biar tinggi air.” 

Ada satu cerita yang sempat membuatnya gelisah. “Pak Dusun pernah lihat buaya melintas di jalan raya. Sering terlihat, tapi belum pernah menyerang warga. Mudah-mudahan tidak.”

Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene
Banjir di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara/Foto: Kartika Gene

Selain itu, menurutnya bencana ini turut berdampak pada hubungan antarwarga di desa. “Kalau dulu pas dua-tiga bulan pertama banjir, banyak orang datang mandi-mandi. Ramai kayak pemandian.” 

“Bahkan bakar-bakar ikan. Seakan-akan senangki toh dengan bencana ini,” Marlinda tersenyum pahit. “Sekarang, tidak mi. mungkin jenuhmi kenna gatal-gatal.”


Editor: Sahrul Ramadan

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru