Sungai Tubo-Salotambung, Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Sungai Tubo-Salotambung, Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Nelayan Salutambung Menyambi Jadi Petani Nilam, Ruang Tangkap Tergerus?

Jamaluddin adalah potret nelayan yang menjadi pekerja ganda sebagai petani nilam di Salutambung karena ruang tangkap di laut kian mencemaskan

Bollo.id — Jamaluddin, pria paruh baya itu kembali mengingat waktu pertama kalinya pergi melaut saat masa Sekolah Dasar (SD). Saat itulah, ia berteguh sebagai nelayan di Salutambung, Kecamatan Ulumanda, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

Pada masa primanya, ia pergi melaut kurang lebih tiga hingga lima bulan dengan lima rekannya. Mereka mencari ikan laut dalam, yaitu tuna. Selain tuna, ia juga biasa mendapat ikan sunu. 

Sebanyak 1 kilogram (kg) ikan sunu dijual seharga Rp45 ribu. “Terakhir atau biasanya dapat 70 kg sekali melaut,” kata Jamaluddin kepada Bollo.id, Selasa, 17 Juni 2025 siang.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Ikan tangkapan nelayan dijual di pasar setempat. Salutambung merupakan wilayah pesisir sehingga nelayan terbilang mudah mendapatkan ikan laut pinggir atau ikan pesisir.

Seperti katombo, banjar, dan batu. Udang kecil pun juga biasa ditangkap nelayan. Ikan losa-losa paling mendominasi harga pasar. “Losa-losa paling mahal dijual Rp120 ribu per 1 kg. (Harga) biasa dijual Rp70 atau Rp80 ribu per kilo,” lanjutnya.

Di usianya yang saat ini 66 tahun, ia pergi melaut tidak terlalu jauh dari hilir sungai setiap sekali seminggu. Waktunya pun kian terbatas. Ia beraktivitas di laut sekitar jam lima sore dan kembali jam tujuh malam.

Rumahnya menuju ke hilir sungai hanya berjarak kurang lebih 100 meter. Selain melaut, ia berinisiatif menjual kebutuhan nelayan dari rumahnya. Seperti peralatan pancing.

Peralatan pancing yang dijual Jamaluddin/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Peralatan pancing yang dijual Jamaluddin/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Di sisi lain, Jamaluddin merasa khawatir dengan aktivitas melautnya dibenturkan dengan isu Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) pasir di muara Sungai Tubo-Salutambung. Ia pasrah terhadap kenyataan itu.

“Ini kita bertahan begini. Kalau melaut dan ada juga pemerintah yang tambang pasir ini, kita mau apa lagi? Kalau mau cari pekerjaan lagi, tidak ada semua pekerjaan (tersedia) di sini,” terangnya.

Harga Nilam Kian Anjlok

Selain menjadi nelayan, Jamaluddin juga bekerja sebagai petani. Ia mempunyai lahan pertanian nilam yang dikelola bersama istrinya. Ia kewalahan karena tidak memiliki bantuan pekerja tani. Akses penyewaan alat pascapanen pun juga dikeluhkannya.

Pada bulan Juni ini, ia memanen 30 kg nilam pesisir. Menurutnya, nilam biasanya dijual seharga Rp850 ribu saat ini. Padahal, dulunya nilam pernah menembus angka Rp2,5 juta.

Jamaluddin berbagi sedikit informasi proses pembuatan minyak nilam. Pertama, nilam dikeringkan dengan cara digantung di bawah atap. Tujuannya adalah agar nilamnya tidak terpapar sinar matahari langsung (minyaknya tidak diambil matahari).

Nilam tersebut dipanaskan (destilasi). “(Nilam itu) dicincang atau dipotong daun dan batangnya. Lalu, dimasak kayak sayur sehingga minyak (atsiri)-nya keluar,” terangnya.

Tanaman nilam (pogostemon cablin) adalah tanaman penghasil minyak atsiri (essential oil) dalam industri parfum, kosmetik, aromaterapi, hingga obat tradisional. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia sempat memproduksi nilam 2,60 ribu ton pada 2023.


Editor: Sahrul Ramadan

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru