Hamparan tanaman jagung di jalanan dari Desa Kaluppini menuju pusat kabupaten Enrekang/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Hamparan tanaman jagung di jalanan dari Desa Kaluppini menuju pusat kabupaten Enrekang/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Jagung Bertumbuh, Adat Bertahan: Cerita Kaluppini

Sepenggal cerita dari sektor pertanian di Kaluppini yang pernah ada tapi tergantikan karena berbagai faktor.

Bollo.id — Di jalanan menanjak, tanaman jagung menghampari gunung sepanjang perjalanan dari pusat Kabupaten Enrekang menuju Desa Kaluppini. Kurang lebih 10 kilometer perjalanan mata terbelalak, sembari berpikir: mungkinkah jagung jadi komoditas pertanian di desa ini. 

Informasinya, jagung untuk pakan ternak menjadi komoditas saat ini di Desa Kaluppini. Masyarakat menanam jagung karena harga jualnya relatif stabil, bibit tanam yang rutin disubsidi pemerintah sekaligus tanaman sepanjang tahun.

Uang hasil penjualan jagung kemudian diputar untuk membeli beras. Semacam ironi karena kita pasti berpikir bahwa jagung juga bisa menjadi alternatif untuk dikonsumsi. Tapi apa mau dikata, situasi itulah yang terjadi di sana.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Merujuk dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) Enrekang tahun 2024, ada 54,65 persen masyarakat Kaluppini bekerja di bidang pertanian. Jumlah petani pada 2024 adalah 27 ribu petani perempuan dan 46 ribu petani laki-laki.

Sebelum masifnya pertanian jagung, masyarakat awalnya menanam padi dan kakao. Namun, warga terkendala kebutuhan air yang tinggi selain mengandalkan air tadah hujan untuk padi. Hama juga jadi ancaman untuk kakao. 

Itulah pemicunya sehingga warga beralih dari yang awalnya menanam padi dan kakao ke jagung. Aktivitas itu sudah berlangsung sejak 2015. Lahan bekas tanaman padi juga dialihfungsikan untuk menanam jagung.

Seiring dengan pemicu itu, fasilitas penunjang untuk bertani warga Desa Kaluppini juga telah beralih. Dari bajak sawah menggunakan tenaga sapi menjadi traktor, penggunaan benih hibrida hingga pestisida. Siklus itulah yang terjadi. 

Pestisida digunakan untuk mencegah atau membasmi hama. Tapi disisi lain, kimia ini juga dapat mengancam kesehatan petani. Apalagi beberapa petani di Kaluppini belum menggunakan alat pelindung diri (APD) yang layak dan lengkap. 

Mereka menjadikan kaos oblong (baju partai) sebagai balaklava. Sekilas bak ninja. “Selalu dikatakan bahwa tidak mungkin instan untuk langsung berhasil di pertanian alami,” kata Kepala Desa Kaluppini, Salata saat menceritakan fungsi pestisida bagi petani, Rabu, 28 Mei 2025.

Beberapa di antaranya masih sempat mempertahankan aktivitas bertani tanpa pestisida. Namun, hasil produksi taninya tidak sebanding jika menggunakan pestisida. “Ketergantungan kita terhadap itu (pestisida) sudah sangat tinggi,” kata pria 31 tahun ini.

Salata juga menyebutkan tantangan pertanian yang hendak diupayakan. Masyarakat meminta dibuatkan jalan tani, pengadaan pupuk, dan penyuluhan pertanian seperti: cara mengolah lahan yang efektif. Aspirasi itu disampaikan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) desa pada akhir 2024.

Adat untuk Alam

Ada 13 ritual adat selama 2 kali masa tanam dalam setahun. Masing-masing 9 pada musim tanam padi (taun bo’bo) dan 4 pada musim tanam jewawut (taun ba’tan). Pertama, massima’ tanah, yaitu memohon izin menggarap tanah. 

Kedua, ma’rappanan banne, yaitu menabur padi. Tahapan ritual ini biasanya dilakukan di pelataran masjid. Ketiga, meta’da wai, yaitu memohon keberkahan air. Keempat, ma’tulung dilakukan ketika padi sudah mulai tumbuh, mau keluar bijinya, dan mulai mengharum. 

Kelima, meta’da pejappi, yaitu meminta obat. Keenam, meta’da kasawean, yaitu meminta cahaya matahari seperti musim kemarau jika sudah mulai hujan terus (musim hujan). 

Ketujuh, massali’ babanga, menutup pintu yang tidak kasat mata. Kedelapan, ma’parata rangnganan, yaitu berburu babi hutan. Meski babi dianggap hama hutan, ritual ini tetap dilakukan karena babi tidak mesti diburu dan dihabisi setiap waktu. Bagi mereka, berburu memang ada waktunya. 

Kesembilan, maparatu ta’ka, yaitu pesta panen. Menurut Abdul Halim, pemangku adat bergelar imam di Desa Kaluppini, hanya empat ritual adat yang dilakukan jika musim kemarau. Massima tanah dengan yang ditanam biasanya adalah palawija; ma tulung, meta’da kawawean; dan maparatu ta’ka

Meskipun masyarakat telah beralih menanam jagung, 13 ritual adat pertanian tetap bertahan hingga kini. Mereka telah merawat alam dengan ritual. Di sisi lain, penggunaan pestisida berlebih bagi alam juga tentu tidak baik.

Kata imam Abdul Halim, gunung yang menjadi lahan tani banyak terpapar zat kimia dari pestisida atau pupuk kimia (anorganik). Gunung kimia mengancam keberadaan tanah ongko yang juga berada di gunung sekitarnya. 

Tanah ongko sama seperti istilah hutan konservasi atau hutan lindung. Di tanah ongko, tidak diperbolehkan adanya kegiatan mengolah tanah untuk pertanian dan perkebunan, apalagi pembabatan pohon untuk kepentingan bisnis dan pariwisata.

Pemangku Adat-Imam, Abdul Halim/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Pemangku Adat-Imam, Abdul Halim/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Sikap pemerintah daerah

Pemerintah berdalih telah menyediakan sumber mata air bor untuk pertanian. “Nanti ketika misalnya (lahan tani) terdampak musim kekeringan maka biasanya sumber tanah dalam ini yang akan menjadi penopang (sumber) air buat lahan pertanian,” kata Plh Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Enrekang, Muhammad Ikbar.

Pemerintah menyadari semangat menanam jagung oleh masyarakat. Apalagi ketika harga jagung naik, semangat masyarakat untuk terus menanam menjadi lebih besar. 

Ia pun mengungkapkan keluhan Kelompok Wanita Tani (KWT) Enrekang. Mereka menyoalkan bantuan tani yang tidak merata. “(Soal) bantuan yang tidak merata. Jumlah bantuan yang terbatas,” lanjutnya menyudahi.

Liputan ini merupakan hasil dari kegiatan media field visit KEMITRAAN bersama SCF melalui program Estungkara yg didukung oleh INKLUSI


Editor: Sahrul Ramadan

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru