Andi Sukri, saksi ahli dari Dinas Ketenagakerjaan Sulsel, Selasa, 14 Oktober 2025/Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Andi Sukri, saksi ahli dari Dinas Ketenagakerjaan Sulsel, Selasa, 14 Oktober 2025/Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Di Balik Jam Besi Smelter Huadi

Disnaker Sulsel Ungkap Pola Pelanggaran Jam Kerja dan Lembur Tak Wajar di Kawasan Industri Bantaeng

Bollo.id – Suasana ruang sidang Bagir Manan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Makassar terasa tegang, Selasa, 14 Oktober 2025. Di kursi saksi, Andi Sukri, Fungsional Pengawas Ketenagakerjaan Ahli Madya Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Selatan, berbicara perlahan. Tapi isi keterangannya membuat ruangan itu riuh.

“Perusahaan boleh mempekerjakan lebih dari delapan jam kerja sehari dan dihitung lembur,” katanya. “Tapi tidak boleh lebih dari empat jam per hari atau delapan belas jam per minggu.”

Sukri hadir sebagai saksi ahli dalam perkara hubungan industrial antara buruh dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, perusahaan pengolahan nikel di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Dari kesaksiannya, tersingkap praktik lembur yang melampaui batas hukum ketenagakerjaan.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Jam Lembur di Atas Kertas

Dalam persidangan, kuasa hukum buruh, Hasbi dari YLBHI-LBH Makassar, mengonfirmasi pola kerja yang dijalankan Huadi. Para buruh bekerja lima hari dalam sepekan, delapan jam per hari, dan empat jam lembur.

“Kalau lima sif dikali empat jam berarti dua puluh jam lembur per minggu,” kata Hasbi. “Itu bertentangan dari saudara bilang bahwa batas maksimal hanya delapan belas jam per Minggu.”

Sukri menjawab hati-hati. Ia mengakui jam lembur di lapangan sering tak menentu. Kendati begitu, ia tidak menampik adanya pelanggaran jam kerja.

“Kadang satu minggu bisa dua puluh jam, minggu berikutnya delapan belas jam. Jadi berubah-ubah,” ujarnya.

Namun, dari pengalamannya sejak 2014 sebagai pengawas ketenagakerjaan, Sukri mengakui banyak perusahaan di Sulawesi Selatan menerapkan jam kerja yang tak menentu. 

Pengaturan jam kerja sering kali bergantung pada kebutuhan produksi, bukan pada batas yang ditetapkan undang-undang. Dalam praktiknya, pengawas di lapangan kerap kesulitan menindak tegas karena keterbatasan jumlah personel dan wewenang.

Empat Kali Dipanggil, Tak Datang

Disnaker Sulsel sejatinya sudah berupaya menertibkan. Sukri mengungkap, lembaganya telah menyurati PT Huadi untuk meminta slip gaji dan daftar hadir pekerja sebagai bahan pemeriksaan. Namun perusahaan tak merespons konfirmasi sebanyak empat kali pada Maret-April lalu.

“Surat sudah kami kirim empat kali, tapi tidak pernah dijawab,” kata dia.

Padahal, kata Sukri, laporan tentang kekurangan upah lembur sudah masuk sejak 2021. Kala itu, para buruh memprotes sistem kerja dan upah yang tak adil. Namun protes itu kerap berujung buntu.

“Kami sudah sarankan perusahaan memperbaiki sistem pengupahan. Kalau dua belas jam kerja, maka perbaiki sistem upah ta,” ujar Sukri ke pihak PT Huadi saat itu.

Pihaknya juga menegaskan agar perusahaan menggunakan istilah “upah lembur” sesuai undang-undang, bukan “insentif sif”. Tapi manajemen hanya menjawab, “Nanti didiskusikan.”

Pengakuan Buruh 

Kesaksian Sukri diperkuat pengakuan buruh. Risal, salah satu buruh yang di-PHK, mengaku jam kerja mereka kerap mencapai 12 jam per hari, bahkan pernah 24 jam tanpa henti.

“Kalau ada protes warga, kami tidak boleh pulang sebelum sif berikut datang,” katanya, Kamis, 9 Oktober 2025.

Selain jam lembur yang panjang, para buruh di Huadi juga dihadapkan pada sistem kerja yang tumpang tindih. Mereka kerap diminta melakukan pekerjaan di luar tugas pokok yang tertera dalam kontrak. Pekerjaan tambahan itu datang bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan karena kekurangan tenaga atau perintah sepihak dari atasan. Dalam banyak kasus, penolakan bukan pilihan yang mudah.

“Saya protes karena itu bukan tugas saya. Tapi orang perusahaan bilang, ‘Kerja saja’. Kalau tidak mau, diancam SP1 atau PHK,” lanjut Risal.

Kini, sidang hubungan industrial di Makassar bukan sekadar perkara antara buruh dan perusahaan. Ia menjadi potret bagaimana jam kerja dan keselamatan di sektor hilirisasi nikel diabaikan bertahun-tahun. Dalam sistem yang membolehkan lembur panjang tapi menutup mata terhadap pelanggaran, waktu bekerja tak lagi diukur oleh jam, melainkan oleh daya tahan manusia itu sendiri.


Baca juga artikel lain tentang perjuangan buruh SBIPE Bantaeng: 


Editor: Kamsah Hasan

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

24 Jam di Smelter Huadi

Buruh bersaksi di pengadilan: bekerja tanpa batas waktu, diperintah di luar tugas, dan diancam jika menolak.