Bollo.id — Warga di Desa Limapoccoe dan Rompegading di Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan sejak puluhan tahun hingga hari ini masih menderita setelah lahan garapan mereka yang semula jadi sumber penghidupan, kini diklaim masuk dalam kawasan hutan lindung.
Lahan-lahan warga kini telah ditanami pepohonan. Penanaman pohon di kampung itu sejak masa orde baru. Sejak tahun 1970 hingga 1972. Departemen Kehutanan—sekarang Kementerian Kehutanan— yang datang ke lokasi, ketika itu beralasan penanaman pohon tersebut bertujuan untuk penghijauan.

Para warga yang masih bertahan di kampung itu hidup dalam ketidakpastian dan hanya menggantungkan hidup pada sisa-sisa lahan warisan. Tanah mereka yang semula jadi sumber penghidupan keluarga, telah diklaim masuk dalam kawasan hutan.
Sekarang, tanah yang masuk ke dalam kawasan hutan itu jadi lokasi konflik agraria antara warga dengan pengelola hutan pendidikan Universitas Hasanuddin (Unhas), setelah pemerintah menyerahkannya ke kampus merah tersebut.

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Pada awal Juli 2025, Bollo.id menyusuri sejumlah lokasi di Dusun Jambua, Desa Limapoccoe, Kecamatan Cenrana, untuk melihat batas-batas dan sejauh mana kawasan hutan tersebut mengubah hidup warga.
Di tempat itu, sebagian besar lahan yang dulunya dikelola warga jadi sawah dan ladang, kini telah ditanami berbagai macam pohon. Akasia, pinus, dan jambu mete. Lahan itu juga dipasangi pagar kawat berduri.

Di sepanjang jalan setapak yang berkelok-kelok terdapat patok semen dengan ukiran tahun 1975, sebagai tanda tapal batas kawasan hutan—yang saat ini telah jadi bagian Hutan Pendidikan Unhas—sejak 31 Maret 1980 dengan luas areal 1300 hektare.
Hutan pendidikan itu diperuntukan buat kegiatan praktik, penelitian, pelatihan, pengabdian kepada masyarakat dan kerjasama penelitian, baik dalam negeri maupun luar negeri. Kawasan hutan pendidikan yang dikelola Unhas ini menghampar dari Kecamatan Cenrana, Camba, hingga Mallawa.

Tahun 2005, Unhas mengusulkan peningkatan status hutan ini jadi Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK), dan kemudian disetujui oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor.86/Menhut II/2005. Lewat penunjukan ini, hutan pendidikan meluas jadi 1.460,50 hektare.
Tahun 2017, Menteri Kehutanan kala itu resmi menetapkan hutan pendidikan Unhas jadi KHDTK, lewat surat penetapan. Tanah-tanah yang menyebar di berbagai tempat inilah yang kemudian menjadi letak konflik antara warga dengan pemerintah sampai sekarang.

Pemerintah mengklaim bahwa tanah itu masuk kawasan hutan, sementara warga yang tinggal di kampung itu berpendapat lain. Sejumlah warga yang saya temui di Desa Limapoccoe dan Rompegading, mengatakan bukti bahwa tanah tersebut milik mereka adalah pohon-pohon kemiri yang ditanam oleh nenek moyang mereka dahulu—sebelum tanah-tanah warga di kampung itu diklaim masuk dalam kawasan hutan.
“Karena ada bukti (pohon kemiri),” kata Agung, seorang warga di Dusun Jambua, Desa Limapoccoe.
Selain pohon kemiri, tanda yang membuktikan bahwa tanah itu milik warga ialah pagar yang disusun oleh sang nenek, dari bongkahan batu. Batu-batu itu, menurut warga, jauh telah ada di lahan garapan mereka, sebelum pihak kehutanan membentangkan kawat berduri di kampung itu.
Sebelum lahan-lahan warga diklaim masuk dalam kawasan hutan, salah satu penghasilan utama warga di Desa Limapoccoe dan Rompegading adalah hasil penjualan ternak sapi.

Di Rompegading misalnya, pemeliharaan sapi oleh warga sangat massif pada tahun 1968 hingga 1985. Para warga menggunakan lahan padang di area pegunungan untuk memelihara sapi.
Begitu juga di Limapoccoe, warga sengaja tidak menanam pohon-pohon di lahan padang yang tandus karena padang itu jadi area yang bagus untuk memelihara sapi. Tapi kondisi telah berubah, wilayah tersebut telah masuk dalam kawasan hutan.
Dan membuat warga tak dapat lagi beraktivitas di lokasi itu seperti membuka lahan untuk berkebun, menebang pohon hingga meremajakan tanaman. Jika warga memaksakan untuk tetap mengelola lahan yang telah masuk kawasan hutan, sudah pasti mereka akan dihadapkan dengan teror moncong senjata dari polisi hutan.

Sejumlah warga di Limapoccoe dan Rompegading yang tak lagi memiliki lahan garapan sebagai tumpuan hidup keluarga, satu persatu meninggalkan kampung halaman. Mereka beranggapan bahwa merantau merupakan jalan satu-satunya untuk penghidupan yang lebih baik.

Di Dusun Jambua, jumlah penduduk warga yang pada awalnya tercatat sebanyak 400 kepala keluarga, sekarang tinggal 200 kepala keluarga. Hal ini terjadi karena sebagian besar lahan yang dulunya mereka kelola jadi sawah dan ladang telah diklaim masuk kawasan hutan, sehingga membuat lahan garapan warga sempit.
Apa yang terjadi di Desa Limapoccoe dan Rompegading, Cenrana, ini bukanlah sesuatu yang baru. Situasi yang dihadapi para warga di kampung itu merupakan persoalan bersama bagi warga di Indonesia–terutama mereka yang hidup di antara kawasan hutan–yang telah berakar sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Persoalan ini terjadi secara struktural.
Editor: Sahrul Ramadan
