Ilustrasi petani sawit/Foto: i0.wp.com/epthinktank.eu
Ilustrasi petani sawit/Foto: i0.wp.com/epthinktank.eu

Suara Petani Sawit Luwu Timur di Tengah Konflik Lahan

Para petani merasa terancam sejak Brimob turun tangan di lahan mereka. Intimidasi terang-terangan hingga upaya pengadangan biasa terjadi.

Bollo.id — Petani Luwu Timur, Sulawesi Selatan melaporkan aparat dari Korps Brimob yang melarang aktivitas tani sawit ke Propam Polda Sulsel. Laporan etik terhadap anggota polisi itu diambil petani setelah rangkaian intimidasi Brimob di lahan mereka sejak Juni lalu.

“Brimob akan mengusir kami. Kami merasa tidak tenang kehadirannya brimob di atas wilayah itu. Dan dia melarang kami melakukan aktivitas di dalam sedangkan kami punya tanaman di dalam yang mau kami ambil hasilnya,” kata salah satu petani yang melapor, Ambo Unga kepada wartawan, Senin, 4 Agustus 2025 di Mapolda Sulsel.

Para petani merasa terancam sejak Brimob turun tangan di lahan mereka. Pria 58 tahun yang tergabung dalam Perserikatan Petani Sulawesi Selatan (PPSS) itu tetap ingin mempertahankan lahan sawit mereka. Kelangsungan pangan dan regenerasi mereka bergantung dari hasil panen sawit tersebut.

“Tidak tahu alasannya apa sehingga dia menyuruh kami keluar. Di situ kami tidak menerima karena faktor perut. Kami mengambil hasil di situ untuk menyekolahkan anak cucu kami, harapan kami dari situ,” lanjutnya.

Ambo Unga bilang para petani merupakan pemilik lahan sawit itu, bukan perusahaan atau aparat. “Kenapa dia menghalangi kami untuk mengambil (panen kami sendiri)? Nah, kami bukan seorang pencuri,” ungkapnya.

“Pas dia melarang kami masuk, dia sudah menyuruh keluar bahwa kami tidak boleh masuk dengan ‘pemiliknya sudah datang’. Ya sepengetahuan kami, kamilah pemilik tanaman karena kami yang menanam,” jelasnya.

Ambo Unga, salah satu petani yang melapor di Mapolda Sulsel/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Ambo Unga, salah satu petani yang melapor di Mapolda Sulsel/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Pendamping Hukum PPSS, Fajar Nur Alamsyah menegaskan bahwa petani melaporkan Brimob karena intimidasi pengancaman. Bahkan, para petani perempuan pun turut menghadapi dan mempertanyakan peran polisi yang seolah menjadi pemilik di lahan mereka.

“Kemarin terakhir 3 Agustus, itu sekitar empat perempuan, ibu-ibu, itu menghalangi aparat Brimob untuk memberikan penanda di lokasi yang diklaim itu. Mereka berdebat bahwa Brimob itu jangan menjadi juru bicara begitu. Tugasnya hanya melakukan pengamanan ketika ada situasi yang membuat keributan (chaos). Jadi mereka ini berdebat soal peran dari Brimob,” tambah Fajar.

Kronologi Intimidasi Brimob ke Petani

Merujuk dalam siaran pers PPSS yang diterima pada 7 Agustus 2025, intimidasi Brimob memanas pada 28 Juni. Pada 12.30 WITA, 13 Brimob dan dua orang yang mengaku kuasa hukum penggugat memalang jalan tani dan menahan masyarakat yang telah panen.

Petani diminta untuk untuk tidak membawa hasil panen itu. Besoknya, 29 Juni, 13 aparat Brimob dan dua orang yang mengaku kuasa hukum penggugat menutup akses jalan tani.

Alasannya, akan ada eksekusi lahan terhadap tanah Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sinar Indonesia Merdeka (Sindoka) dan melarang masyarakat masuk ke area lahan yang dipersoalkan.

Pada 30 Juni, sekitar 17 Brimob mengawal sekelompok orang untuk panen sawit milik masyarakat di Desa Koroncia. Pada 2 Juli, sekitar 9 Brimob mendatangi Baruga Serikat Tani Desa Koroncia-Desa Nonblok kemudian menanyakan:

“Sudah berapa lama warga mengelola lahan?” dan menyatakan bahwa, “Tanah ini sudah dimenangkan sekitar 5000 hektare dan kalau masyarakat tidak punya bukti segera tinggalkan lokasi garapan”.

Pada 5 Juli, masyarakat bertemu dengan pihak kepolisian yang dihadiri Kapolsek Mangkutana, Kepala Desa Teromu, Kepala Desa Koroncia, Kepala Desa Nonblok, Perwakilan Camat Kalaena untuk mempertanyakan keberadaan Brimob di lahan tani warga, tapi tidak ada kejelasan. 

Pada 27 Juli, sekitar 15 Brimob kembali mengawal sekelompok orang untuk memberi tanda berupa pengecatan merah di pohon atau tanaman milik warga di Desa Kasintuwu.

Pada 2 Agustus, anggota Brimob mengadang warga bernama Agus Salim yang saat itu tengah berada dalam perjalanan dari rumahnya dengan mempertanyakan tujuan dan surat kepemilikan lahan. 

Anggota Brimob itu meminta untuk menunjukkan surat kepemilikan lahan dan jika tidak memiliki dokumen maka diminta untuk meninggalkan lahannya dan dilarang masuk kembali.

Sekilas Tentang Pemicu Konflik

Dilansir dari Mongabay, pada 1987, PT Sindoka memperoleh HGU di Mangkutana, Luwu Timur, untuk pengembangan bioetanol. Saat krisis ekonomi dan sawit tak produktif, Sindoka berhenti mengelola lahannya pada 1998. Warga lokal masuk menanam ke dalam lahan HGU.

Pada 2012-2013, perusahaan kembali dan meminta warga keluar. Namun setelah negosiasi, warga diizinkan menanam palawija selama tidak mengganggu perusahaan.

Pada 2014, terjadi ketegangan. Aparat represif kepada warga yang marah dengan penggusuran dan pembatasan area oleh perusahaan hingga mengamankan beberapa warga. Pada 2020, perusahaan dan polisi melakukan tindakan represif lagi ke lahan eks-HGU itu.

HGU Sindoka sudah habis sekitar 2017 dan tidak diperpanjang secara resmi atau tidak ada izin baru untuk menanam sawit diterbitkan. Perusahaan memulai penanaman sawit pada Maret 2020 tanpa HGU atau Izin Usaha Perkebunan (IUP).


Editor: Sahrul Ramadan

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru