#meikemakassar mulai berseliweran di Instastory Instagram sejak awal Mei 2025.
Bollo.id — Orang-orang yang akan ber-MIWF berbondong-bondong membagikan pengalamannya sebagai ajakan kepada publik untuk bersama-sama merayakan MIWF tahun ini.
MIWF atau Makassar International Writers Festival berlangsung selama 29 Mei – 1 Juni 2025, adalah festival sastra tahunan yang tidak hanya mempertemukan sastrawan dan orang-orang yang berkelindan di perbukuan.
Tetapi juga mempertemukan aktivis, jurnalis, akademis, pelaku seni, dan berbagai profesi lainnya untuk mempercakapkan banyak hal, yang tidak melulu soal sastra.
Karena itu, tahun ini MIWF hadir sebagai festival literasi yang juga ikut berkontribusi pada percakapan perampasan tanah dan ruang hidup yang terjadi di banyak tempat, tak terkecuali di Indonesia, dikhususkan lagi Kota Makassar.
“Sehingga Land and Hand menjadi penting untuk diangkat sebagai tema MIWF tahun ini,” kata Aan Mansyur, Direktur MIWF saat Konferensi Pers, 28 Mei 2025 lalu.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
“Kami bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia, Pulitzer Center, Project M, dan berbagai komunitas nasional hingga lokal. Mendatangkan banyak pembicara, mulai dari diskusi panel, pemutaran film, pementasan cerita-cerita anak. Juga pembicara dari tanah Papua,” lanjutnya.
Sebagai tema MIWF 2025, dikutip dari official Instagram @makassarwriters, Land and Hand adalah seruan untuk bersama-sama memikirkan, membicarakan, dan melakukan perlawanan secara kolektif atas segala bentuk perampasan ruang hidup, pembantaian, penindasan, dan pengusiran berbagai komunitas dari tanah mereka.
Juga pengerukan dan perusakan lahan yang masih terus terjadi di berbagai tempat, serta hal-hal lain di sekitar persoalan-persoalan genting tersebut.
Sebelum ditetapkan sebagai tema MIWF tahun ini, Mariati Atkah, kurator MIWF mengatakan bahwa dari lima usulan tema, Land and Hand dipilih karena memiliki relevansi dengan tema MIWF tahun lalu; M/othering. Karena itu, proses mengurasi tema MIWF melihat program tahun lalu sebagai rancangan dasar program tahun ini.
“Jika M/othering membahas bagaimana kerja-kerja keperawatan, Land and Hand membahas bagaimana mempertahankan ruang hidup,” ujar Mariati Atkah, Kurator MIWF saat konferensi pers.
Ati, sapaannya mengatakan tujuan kedua temanya sama, bersama memikirkan dan mempercakapkan ruang hidup.
Membicarakan ruang hidup, satu pertanyaan besar yang tidak boleh luput dalam pembahasan di ‘kota dunia’ ini adalah; apakah Makassar sudah menjadi kota inklusif bagi kelompok keberagaman gender?
Kelompok yang hingga saat ini masih memperjuangkan ruang hidupnya. Masih menjadi kelompok yang dimarjinalkan.

Bagaimana MIWF menginklusifitaskan kelompok keberagaman gender?
Sebagai festival literasi yang mendatangkan pengunjung hingga 20.000 orang, MIWF kata Aan berkomitmen tidak hanya menyuarakan, tetapi juga menciptakan ruang aman dan nyaman bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk bagi kelompok keberagaman gender.
Ruang itu hadir dalam wujud volunteer, diskusi, pameran, hingga pertunjukan. Tahun lalu, ada kurang lebih 10 program yang melibatkan kelompok keberagaman gender dari Makassar, Jakarta, hingga Maumere.
Tahun ini ada tujuh program yang berfokus pada kelompok keberagaman gender di Makassar. Aan menegaskan bahwa tahun ini MIWF untuk pertama kalinya menghadirkan empat komunitas Bissu dari Wajo, Segeri, Bone, dan Soppeng.
Keempat komunitas Bissu ini hadir untuk mempercakapkan Diseminasi Hasil Penelitian “Menerjang Batas Modernisasi” dan akan mengisi Gedung E dengan instalasi pameran Bissu, serta hadir tiap hari di panggung Under The Poetic Star.
MIWF kata Aan, memiliki prinsip-prinsip dasar perihal keberagaman gender. MIWF selalu memiliki program-program terkait isu-isu gender. Dan atas prinsip itu, telah menumbuhkan efek.
“Contoh efeknya, tiap tahun selalu ada emerging writers dari kelompok keberagaman gender. Tahun lalu sepertinya cuman dua orang yang menyebutkan dirinya non-biner. Tahun ini juga ada seorang penyair non-biner,” suara Aan memenuhi gedung Chapel seolah ruangan ini mengizinkannya untuk mengatakan lebih jelas kepada para wartawan yang hadir.
“Ini menurutku salah satu efek dari keterbukaan MIWF kepada teman-teman minor gender,” lanjutnya.

Pameran ‘Tangan yang Menjaga Tanah Peradaban’ oleh Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan (KWRSS) berada di gedung E dan berlangsung selama MIWF.
Menampilkan kisah I La Galigo dalam bentangan kain yang membentuk lorong waktu, bagian atap ruangan dihiasi dua baku panampa’ yang menjulai dan sebelah kanan ketika masuk gedung, terlihat tiga pasang baju bissu berbeda yang dipajang pada tubuh manekin.

Ketika mengunjungi pameran ini, kamu akan bertemu dengan gallery sitter seorang transpuan yang bergabung dalam KWRSS.
Hari pertama MIWF, saya berkunjung ke pameran ini dan berbincang bersama Pengamat Bissu, Haji Ida.
Ini adalah kali kedua ia hadir di MIWF sejak kedatangan pertamanya tahun lalu. Ia dari Maros dan bergabung bersama Bissu Bone. Menurutnya, Bissu saat ini menjadi rentan di masyarakat karena faktor internal seseorang.
“Kalau yang dulu-dulu itu tidak pernah dipermasalahkan Bissu, justru dijunjung tinggi itu Bissu,” katanya untuk membandingkan perspektif soal Bissu di zaman dulu dan sekarang.
Kepalanya dihiasi dengan kopiah putih, mengajak isi kepala saya untuk berkunjung ke masa lalu, ketika peran Bissu sangat penting di kerajaan. Sebab katanya, Bissu adalah tangan kanan sang raja. Semua tamu dari kerajaan lain, dari mancanegara, sebelum bertemu raja, terlebih dahulu bertemu dengan Bissu.
“Sedangkan raja kalau mau ketemu dengan permaisurinya, tidak bisa langsung ketemu. Harus melalui Bissu yang menyampaikan ke sana (permaisuri),” ucapnya. “Baik ada tamu kah, mau mandi kah harus melalui Bissu,” lanjutnya.
Historis panjang Bissu ini yang kemudian menurutnya tidak boleh hilang karena telah ada sejak nenek moyang, bahkan sebelum agama Islam masuk di Sulawesi Selatan.
Di akhir percakapan, ia memberitahu bahwa Sere Bissu akan ditampilkan di a Cup of Poetry sore nanti.
Sambil menanti matahari terbenam, saya berbincang dengan Rawraw, tim PPKS MIWF, ia mendefinisikan identitas gendernya sebagai pronoun she/they. Rawraw pernah menjadi volunteer MIWF pada 2018, dan tahun ini kembali ber-MIWF sebagai volunteer.
Ketika saya mendatangi dan mengajak Rawraw berbincang, ia langsung mengajak saya melihat secarik kertas di atas meja yang tertulis “Daftar Kunjungan MIWF”. Di situ, berisi beberapa kolom, seperti nama, jenis kelamin, usia, nomor handphone, alamat, dan tanda tangan.
“Untuk membicarakan itu, kita lihat dari absennya saja. Ini menurutku sudah bias gender, karena kenapa hanya P/L saja?, sedangkan yang datang tidak hanya perempuan dan laki-laki,” sambil menunjukkannya kepada saya.
Ia menyoroti bahwa dalam pengisian presensi, baiknya merujuk pada sex characteristic atau karakteristik seksual seseorang yang tidak hanya mengacu pada unsur biologis saja. Sebab kata Rawraw, ketika hanya menyertakan perempuan atau laki-laki saja, gender lain menjadi terpinggirkan.

Setelah memperlihatkan itu, kami mengambil posisi duduk di selasaran Gedung E, tepat di tempat saya tadi berbincang bersama Haji Ida.
Menurutnya, dalam menciptakan ruang aman yang kompleks ini, MIWF memiliki usaha-usaha berbenah dan tumbuh di tiap tahunnya. “Selaluji punya proses yang terbuktiki memberikan perubahan,” tuturnya.
Jika tahun-tahun sebelumnya, MIWF tidak memiliki peningkatan kapasitas untuk volunteer, tahun ini menghadirkan banyak kelas-kelas untuk menunjang kapasitas volunteer. Salah satunya membuat kelas SOGIESC untuk mempertegas pentingnya kesadaran ruang aman dalam konteks keberagaman gender.
“Jadi itu yang buatki kayak ndak sia-sia jaki karena ada sesuatu yang didapat, seperti kelas regulasi emosi,” katanya.
Menurutnya, jika memikirkan ruang aman, perlu untuk memikirkan semua aspek, termasuk dalam urusan regulasi emosi dalam konteks individu.
“Karena untuk menjadi sebuah tim, kau adalah seorang individu, dan mereka (MIWF) memiliki itu, itu yang buat bagus dan mereka berusaha,” Rawraw menerangkan.
Menariknya lagi menurut Rawraw, MIWF tahun ini membentuk tim PPKS untuk pertama kalinya. Dalam konferensi pers pada 28 Mei lalu, Direktur MIWF, Aan Mansyur mengatakan bahwa ada 34 kelas yang dipelajari para relawan. Mulai dari pengorganisasian sipil, isu keberagaman gender, hingga anti-kekerasan seksual.
“Mulai dari yang sangat teknis sampai yang besar. Jadi, para relawan membentuk semacam kelasnya sendiri, festival ini hanya memfasilitasi,” jelas Aan di Gedung Chapel, Benteng Rotterdam.
Hari kedua saya kembali ber-MIWF dan memasuki salah satu panel di gedung Chapel, saya menyoroti kolom jenis kelamin yang Rawraw tunjukkan kemarin. Kepala saya tanpa sadar mengangguk-angguk setelah melihat tambahan kolom “lainnya” di samping pilihan P/L.
Kolom itu kata A Miftahul Jannah, Koordinator Kesekretariatan MIWF, memberikan keterbukaan kepada pengunjung untuk mengisi identitas gender apa yang ia definisikan pada tubuhnya.
Ini mengingatkan saya pada akhir percakapan bersama Rawraw kemarin, ia menggarisbawahi bahwa dalam suatu festival, ada yang kemudian disebut ‘sesi evaluasi dan bertumbuh’. Menurutnya, entah itu menjadi festival atau menjadi orang, MIWF sedang melakukan itu.
Untuk lebih mempercakapkan MIWF, saya berbincang bersama Ratih Kumala, penulis buku Gadis Kretek. Teriknya matahari Benteng Rotterdam mewarnai percakapan kami. Ratih mengatakan bahwa suatu festival idealnya mengangkat satu isu yang ingin dirangkul karena seyogianya festival berperan untuk melemaskan ketegangan yang ada di antara satu orang dengan orang lain, satu komunitas dengan komunitas lain.
Sambil sesekali meneguk minuman yang baru saja ia pesan dari taman rasa, ia juga mengatakan bahwa problem-problem seperti itu untuk melemaskannya perlu dikerjakan secara berkesinambungan dan tidak bisa hanya dilakukan sekali saja.
“Aku pikir apa yang dilakukan MIWF itu bentuk dan fungsinya seperti itu. Sudah 14 tahun, ya, sepertinya,” ucapnya sambil meminta konfirmasi sudah berapa lama MIWF melakukan kerja-kerja ruang aman sejak 2011.

Ketika melihat festival secara fisik, maka yang kita lihat menurutnya adalah orang yang berkumpul, duduk, dan kemudian bersama-sama membuat suasana yang sedemikian rileks untuk menyalurkan hobinya masing-masing. Jika dikaitkan dengan konteks MIWF, mungkin hobi yang akan hadir adalah membaca.
“Dan orang bisa kemudian melakukan itu tanpa kita harus melihat bahwa ‘oh kamu Islam ya, kamu Kristen ya, kamu Indonesia, ya, kamu LGBT-Q ya’, itu dilebur di sini gitu.”
Editor: Sahrul Ramadan