Mario sedang berputar-putar di atas alas kaki dengan cahaya kilatan yang terus menyala cepat (Matalantas)
Mario sedang berputar-putar di atas alas kaki dengan cahaya kilatan yang terus menyala cepat (Matalantas)

Yang Tidak Terhubung: Warga dan Kota dalam Matalantas

Matalantas merupakan gabungan kata “mata” (indra penglihatan) dan “lantas” (lalu lintas), menyiratkan metafora kompleks tentang relasi masyarakat dan pemerintah

Bollo.id — Matalantas adalah salah satu seri performance dalam proyek Kota dalam Teater (City in Theatre) yang dipentaskan Dwi Saputra Mario pada Kamis, 1 Mei 2025 pukul 09.00 Wita di Riwanua. 

Proyek yang diinisiasi Kala Teater ini mengangkat tema “Yang Tidak Terhubung: Warga dan Kota” dengan fokus pada isu perkotaan berdasarkan riset warga. Kala Teater telah menjalankan proyek ini sejak 2015.

Rio—sapaan akrabnya—merupakan sutradara, desainer grafis, sekaligus penata artistik yang kerap berkolaborasi dengan Kala Teater. Dalam Perfomance ini, ia mengangkat keresahan warga terhadap lampu tilang elektronik yang dinilai mengganggu pengendara. 

Masalah yang muncul antara lain kurangnya sosialisasi, cahaya menyilaukan yang menimbulkan ketidaknyamanan, hingga potensi kecelakaan. 

Judul Matalantas merupakan gabungan kata “mata” (indra penglihatan) dan “lantas” (lalu lintas), menyiratkan metafora kompleks tentang relasi masyarakat dan pemerintah. 

Jalan sebagai ruang publik yang dilewati semua lapisan masyarakat justru menampilkan relasi timpang ketika fasilitas seperti lampu tilang diterapkan tanpa melibatkan warga. Kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas pun luput dari pertimbangan kebijakan.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Akibatnya, warga menjalani rutinitas harian berdampingan dengan risiko yang terus mengintai. Suara-suara keberatan seolah lenyap, tak digubris—ibarat angin yang hanya mengipasi menu makan malam para pengambil kebijakan.

Rio merepresentasikan situasi ini secara apik lewat properti, kostum, dan tata cahaya. Tiang lampu diletakkan di Barat Laut—dengan posisi Rio di tengah ruangan menghadap penonton. Ia mengenakan kemeja hitam berkerah tinggi, celana gombrang, kaus kaki abu-abu, dan sepatu hitam usang bertali putih tak simetris. 

Empat lampu sorot mengarah ke pusat, utara, timur, dan barat. Tak ada musik, hanya riuh penonton dan suara anak kecil dari ruangan sebelah. Performance sengaja diinterpretasikan dalam empat babak.

Babak pertama dibuka dengan gerak tubuh yang repetitif, lambat, nyaris mekanis. Wajah datar, alis mengernyit, dan tatapan tajam menciptakan suasana suram. Busana hitam longgar dan kancing hingga leher memperkuat kesan terkungkung. 

Kilatan cahaya muncul berkala, mengganggu visual penonton. Aktor menggenggam angin—tanda kehampaan dan pencarian tanpa hasil.

Babak kedua, tepat di menit ke-17, ritme kacau dan cepat. Wajah berubah tegang, gerak makin liar. Di menit ke-22, ia nyaris jatuh, tapi bertahan, tetap berputar. Menjelang menit ke-30, ia mulai menyesuaikan ritme, lebih cepat namun tetap stagnan.

Babak ketiga, menit ke-40, tangan terbuka, mulut mulai terbuka. Ia goyah, kaki hanya bertumpu satu, tangan menjaga keseimbangan. Di menit ke-60, matanya tampak letih. Menit ke-84, tangan mulai menopang tubuh. Ia keluar dari batas alas kaki, tapi kembali—sebuah simbol mencoba menjelajah, tapi urung.

Babak keempat jadi klimaks. Alas kaki bergeser, napas tersengal, putaran melambat. Di menit ke-127, muncul ledakan energi sesaat sebelum kembali melambat. Menit ke-141, tubuh oleng, napas panjang menandai puncak kelelahan. 

Seri Performance Proyek Kota dalam Teater_ Matalantas oleh Dwi Saputra Mario
Seri Performance Proyek Kota dalam Teater_ Matalantas oleh Dwi Saputra Mario

Di menit ke-159, gerak melambat, tapi semangat bertahan tetap menyala. Tubuh terus mencari irama: cepat, lambat, teratur—menjadi narasi jatuh bangun manusia melawan batasnya.

Secara keseluruhan, performance ini meditatif sekaligus mengguncang. Gerak tubuh, ekspresi, kostum, hingga cahaya membangun ketegangan yang berlapis. Ini bukan soal tubuh berputar, tapi eksistensi yang mencari makna di tengah keterbatasan.

Kilatan cahaya bukan sekadar efek visual, melainkan metafora aturan yang datang tiba-tiba, membingungkan, tanpa penjelasan. Seperti lampu tilang di kota, ia menyala tanpa memperjelas, justru menciptakan rasa tak aman. 

Di panggung ini, tubuh yang letih mencerminkan warga yang terus bertanya: mungkinkah keteraturan tercipta tanpa membuat kami merasa disalahkan?

Barangkali harapan yang paling sederhana: agar cahaya tak hanya menyala, tapi juga memberi terang.

Ulasan Performance “Matalantas” oleh Dwi Saputra Mario


Editor: Sahrul Ramadan

Emma

Lulusan Sastra Universitas Hasanuddin yang aktif dalam seni pertunjukan, riset budaya, dan penulisan. Ia menulis skripsi tentang representasi perempuan dengan pendekatan feminisme eksistensialis Simone de Beauvoir. Saat ini, ia terus mencari bentuk dan cara bercerita yang jujur lewat tubuh, kata, dan ruang.

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Pertunjukan

Kumuh yang Melintas-lintas

Kumuh yang melintas-lintas menggambarkan dampak hidup di pemukiman kumuh terhadap kesehatan, lingkungan, sosial, dan ekonomi warga.

Aku Ingin Tidur Lelap

Mengeksplorasi dampak psikologis banjir, bukan hanya kerugian materi, tetapi kecemasan, ketakutan, gangguan tidur, dan trauma jangka

Paksa Pasrah

Paksa Pasrah menggambarkan kehidupan buruh harian lepas yang bekerja tanpa perlindungan, menghadapi tekanan dan ketidakpastian.