Ningsi eks buruh PT. Huadi /Bollo.id
Ningsi eks buruh PT. Huadi /Bollo.id

Rahim di Bawah Cerobong

Di bawah kepulan asap smelter Huadi di Bantaeng, buruh perempuan bekerja hingga 12 jam sehari tanpa perlindungan reproduksi.

Bollo.id – Jarum jam sudah lewat pukul sembilan, tapi sif malam baru separuh jalan. Saat rasa nyeri di perutnya kian tajam, Ningsi, perempuan 25 tahun itu mencoba menahan diri agar tak pingsan di tengah deru mesin. Beberapa hari kemudian, ia keguguran—yang ketiga sejak bekerja di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia.

“Setelah keguguran, saya periksa ke dokter dan mengambil surat sakit tiga hari tapi upah saya tetap dipotong,” ujarnya lirih, Minggu, 12 Oktober 2025.

Hari-hari setelah keguguran itu menjadi masa paling berat bagi Ningsi. Tubuhnya masih lemah, tapi ia menerima panggilan dari atasan agar segera kembali bekerja. Dokter sebenarnya menyarankan istirahat lebih lama, namun perusahaan memintanya masuk atau upahnya dipotong.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Ia datang ke pabrik dengan tubuh yang belum pulih sepenuhnya. Rasa sakit di perut masih terasa, begitu juga duka yang belum selesai. 

“Seperti tidak punya hati nurani,” katanya pelan.

Baginya, kehilangan janin bukan hanya urusan medis, melainkan juga luka batin yang belum sempat dirawat. Namun di pabrik, rasa duka tak punya tempat. Produksi harus terus berjalan.

Ningsi adalah satu dari ratusan buruh perempuan yang bekerja di pabrik peleburan nikel di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Sejak 2021, ia hidup dengan ritme kerja 12 jam per hari; masuk pagi pulang malam, atau sebaliknya. Di ruang kerja yang panas dan lembap, hak perempuan terus diabaikan.

“Kalau izin sakit, pasti gaji dipotong,” katanya.

Perempuan di Sif Malam

Dalam satu area kerja, buruh perempuan tak hanya menghadapi risiko kelelahan, tapi juga kecelakaan kerja. Ningsi masih mengingat insiden yang menimpa rekan sesama buruh, yang sedang hamil.

“Dia jatuh waktu naik tangga karena tumpuannya patah. Untungnya tidak keguguran,” ujarnya.

Kecelakaan juga terjadi di divisi lain. Munifa, 28 tahun, rekan kerja Ningsi, menuturkan sebuah truk pengangkut material pernah tergelincir di atas timbangan saat proses bongkar muat.

“Teman saya di dalam, kakinya luka,” kata dia.

Munifa menambahkan, selama bekerja, perusahaan tidak pernah menjelaskan hak-hak pekerja perempuan secara lengkap.

“Kami tidak tahu soal cuti haid, hamil, atau melahirkan. Tidak pernah disampaikan,” katanya.

Bagi sebagian buruh, istilah “cuti haid” bahkan terdengar asing, karena selama ini mereka harus tetap masuk kerja meski mengalami nyeri hebat.

Kerja 12 Jam Tanpa Lembur

PT Huadi Nickel Alloy Indonesia merupakan salah satu perusahaan smelter nikel terbesar di Sulawesi Selatan. Perusahaan asal Tiongkok itu beroperasi di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) sejak 2019 dan mempekerjakan ribuan buruh lokal.

Spanduk protes buruh yang terpampang di pagar PT Huadi Nickel Alloy/Foto: Arya Nurprianugraha
Spanduk protes buruh yang terpampang di pagar PT Huadi Nickel Alloy/Foto: Arya Nurprianugraha

Namun, di balik aktivitas industri yang gemerlap, sistem kerja panjang dan upah tak sepadan menjadi keluhan umum.

Buruh menyebut sistem kerja mereka 12 jam per hari tanpa hitungan lembur. Waktu kerja lebih dari delapan jam tidak dicatat sebagai “lembur”, melainkan “insentif sif”. Dalam praktiknya, tambahan waktu itu hanya dihitung sebagai bonus, bukan hak lembur sebagaimana diatur dalam undang-undang.

“Kalau lebih dari delapan jam, harus dihitung sebagai lembur,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati. Ia menegaskan, istilah “insentif sif” tidak dikenal dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia.

Hak yang Gugur Bersama Waktu

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja perempuan berhak atas cuti haid dua hari pertama masa menstruasi, serta cuti hamil dan melahirkan selama tiga bulan. Undang-undang juga mewajibkan perusahaan membayar penuh gaji pekerja yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja.

Namun, di pabrik nikel Huadi, hak-hak itu seperti tak pernah hidup.

Ketua Serikat Buruh Industri dan Pertambangan Energi Kawasan Industri Bantaeng (SBIPE KIBA), Junaid Judda, mengatakan kasus ini bukan kasus tunggal. Ia menyebut banyak buruh perempuan mengalami kasus serupa di kawasan industri tersebut. Menurutnya, hal itu termasuk pelanggaran serius terhadap hak-hak pekerja perempuan.

“Kalau sampai keguguruan, ini bukan hanya masalah ketenagakerjaan, tapi juga kemanusiaan,” ujarnya.

Bagi Ningsi, tiga kali keguguran bukan sekadar luka fisik. Ia kehilangan harapan untuk menjadi ibu di tengah kerja yang menuntut ketahanan lebih dari tubuh yang dimilikinya. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat sedikitnya lima buruh perempuan mengalami keguguran, yang banyak dihubungkan dengan kondisi kerja yang berat dan jam kerja yang lama.

Hingga berita ini terbit, manajemen Huadi belum memberikan tanggapan atas kesaksian para buruh perempuan. Kuasa hukum perusahaan hanya menyebut bahwa mereka masih menunggu proses hukum yang kini bergulir antara eks buruh dan pihak manajemen.


Baca juga artikel lain tentang perjuangan buruh SBIPE Bantaeng: 


Editor: Kamsah Hasan


2 Comments

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru

24 Jam di Smelter Huadi

Buruh bersaksi di pengadilan: bekerja tanpa batas waktu, diperintah di luar tugas, dan diancam jika menolak.