Bollo.id — Pajoge Angkong terdiri dari dua kata, yaitu Pajoge artinya penari dan Angkong berarti wanita adam, calabai, passimpolong, atau si pemakai konde. Calabai yang menari mulai eksis setelah abad ke-17 M di Sulawesi Selatan.
Keberadaan Pajoge Angkong ini didokumentasikan dalam film “Calabai Akan Terus Menari” pada 2023. Eman Memay Harundja dari Kerukunan Waria Bissu Sulawesi Selatan (KWRSS) merupakan sutradara film dokumenter ini.
Film itu menampilkan calabai yang merupakan Pajoge Angkong yang masih ada saat ini. Stigma terhadap keberagaman gender dari Bugis dan LGBTQ diharapkan dapat berkurang di masyarakat melalui film ini.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Tari Pajoge Angkong adalah tarian hiburan rakyat yang dibawakan oleh calabai di masa lalu. Mereka hadir untuk memeriahkan acara adat atau acara masyarakat, salah satunya di pasar malam.
Menurut Budayawan Halilintar Lathief, perjalanan calabai sebagai Pajoge Angkong pada tahun 1960-an itu merupakan perjalanan yang sulit. Mereka dicari, diburu, dan diancam oleh masyarakat bahkan gerilyawan di Sulsel saat itu.
“Dikira pendusta agama,” dikutip dari film “Calabai Akan Terus Menari” yang diputar di Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Makassar, Selasa, 24 Juni 2025 malam.
Puang Corra, menjadi Pajoge Angkong sebagai pekerjaan utamanya. Ia biasanya menari di pasar malam. Sementara Haji Bunga, menceritakan tantangan personalnya selama menjadi angkong.
Ia mengaku dipukul oleh orang tuanya sehingga minggat dari rumah karena tidak diterima oleh keluarganya. “Izin ka (ke luar) untuk pergi ambil air, (setelahnya) nda kembali ma,” kata Haji Bunga dalam cuplikan film dokumenter itu.
Eman kemudian menjelaskan latar belakang pembuatan dokumenter ini. Semangatnya berasal dari kearifan lokal di Sulsel. Yaitu lima keberagaman gender (oroane, makkunrai, calalai, calabai, dan bissu).
Ia menyebutkan tentang stigma dan diskriminasi terhadap calabai. Padahal, ada falsafah Bugis “sipakatau, sipakainga, dan sipakalebbi” yang terkait dengan sikap saling menghargai.
Ia juga menanggapi isu Ranperda anti-LGBTQ April lalu. Menurutnya, Indonesia secara negara masih belum menerima keberagaman gender seperti Bugis secara budaya yang mengenal lima gender.
“Menyikapi perda yang direncanakan, kita lihat bahwa negara kita saat ini seperti inilah memang, persoalan ideologi. Soal tidak sepakat dengan itu, dia (negara) akan mencoba untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak sepakat dengan apa yang diinginkan negara saat ini,” kata Eman saat diskusi, Selasa, 24 Juni 2025 malam.
Baca juga artikel:
- Melanggengkan Stigma dan Diskriminasi Lewat Ranperda Anti-LGBT di Makassar
- Fobia LGBT di Makassar: Antara Kepentingan Politik dan Pelanggaran HAM
“Kita mengenal laki-laki dan perempuan. Menjadi lesbian, gay, biseksual, itu tidak ada tempat di Indonesia,” terangnya.
Menurutnya, Queer dengan menjadi dirinya sendiri merupakan bentuk perlawanan. Ini bukan persoalan ingin menjadi perempuan atau laki-laki, melainkan persoalan menjadi diri sendiri.
“Kami mencoba bertahan untuk menjadi diri sendiri. Pilihan ini adalah bentuk perlawanan kami untuk mengatakan bahwa kami ada,” katanya.
Editor: Sahrul Ramadan