Bollo.id — Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Makassar menilai, usulan ranperda anti-LGBT oleh pemerintah kota mendorong stigmat dan diskriminasi. Ranperda itu dianggap menyusahkan kelompok rentan ini dalam mengakses layanan publik.
“Ketika pemerintah mengaturnya dalam sebuah kebijakan, ini akan mendorong tindakan-tindakan masyarakat yang bisa melakukan diskriminasi dan kekerasan kepada kelompok LGBT karena sejak awal sudah ada stigmatisasi bahwa LGBT sama dengan kejahatan dan perbuatan yang melanggar asusila,” kata Direktur LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa kepada Bollo.id, Kamis, 15 Mei 2025.
“Padahal, semua orang bisa melakukan itu. Kalau diatur juga itu (usulan), nanti ada upaya-upaya yang sifatnya represif, memaksa mereka rehabilitasi, mendapat tindakan-tindakan yang sifatnya pemaksaan.”
Regulasi yang diwacanakan Pemkot Makassar lewat ranperda bakal melanggengkan praktik diskriminasi dari berbagai hal yang menyangkut kebutuhan dasar hak hidup kelompok rentan seperti mereka.
“Maka nanti ke depan komunitas atau kawan LGBT tidak bisa mendapat layanan dasar kesehatan, khawatir tentang akses pendidikan, begitupun layanan ketenagakerjaan,” Azis menerangkan.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
“Begitu juga dengan kebutuhan untuk mendapatkan pekerjaan. “Ketika mereka distigma LGBT di masyarakat, bisa-bisa mereka dipecat atau tidak diterima kerja. Padahal, setiap orang harus diberikan kesempatan yang sama,” kata Azis.
Seharusnya menurut Azis, regulasi dibuat untuk melindungi hak warga negara. Jika ranperda anti-LGBT ada, maka itu akan membatasi bahkan menghilangkan hak mereka sebagai warga negara.
“Dalam penyusunan kebijakan itu sebenarnya berangkat dari kebutuhan masyarakat. Kebijakan itu hadir untuk memberikan perlindungan untuk setiap warga negara agar hak-haknya terlindungi,” ucap pria yang akrab disapa Asdum ini.
Azis bilang, regulasi itu harus dibuat dengan prinsip non diskriminatif. Artinya tidak boleh ada aturan satupun yang lahir untuk mendiskriminasi kelompok tertentu. Apalagi mereka adalah warga negara yang dilindungi hukum.
“Apa yang dimaksud diskriminasi? (yaitu) memberikan pengkhususan, pembatasan, pengecualian dengan alasan yang bukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak, tapi justru menimbulkan hilangnya hak kelompok-kelompok tertentu,” lanjutnya.
Menurut Azis, pemerintah rancu dalam melihat peristiwa di tempat hiburan malam (THM). Tidak hanya LGBT katanya, perbuatan asusila bisa dilakukan oleh siapa saja. Tak melulu tentang suatu kelompok yang selama ini dianggap meresahkan oleh pemerintah dan negara.
“Dalam konteks ranperda LGBT itu berangkat dari isu atau wacana terkait THM. Kita coba melihat bagaimana problem yang dilihat waktu itu. Problem yang dilihat sebenarnya adalah ada publikasi situasi seseorang berbuat sesuatu yang sifatnya asusila,” ujar Azis.
Baca juga: Fobia LGBT di Makassar: Antara Kepentingan Politik dan Pelanggaran HAM
“Tapi, persoalannya kenapa peristiwa asusila itu hanya mengarah ke LGBT, meskipun pada waktu itu case-nya yang dilihat itu kelompok LGBT. Padahal kan perbuatan asusila itu bisa dilakukan oleh siapapun tanpa melihat latar belakang gender atau keragaman seksualnya,” terangnya.
Lebih lanjut, ia mengaitkan isu usulan ranperda ini sebenarnya tentang persoalan perizinan di THM. “Kalau dilihat problem-nya, intervensinya yang lain adalah pemerintah mengevaluasi perizinan THM. Problemnya agak aneh. THM itu tempat yang orang-orang pahami bahwa ini tempat semua orang,” ucapnya.
“Ketika itu terjadi, bukan berarti langsung bikin perda LGBT. Perlu tekankan ke THM tentang batasan-batasan tertentu supaya tidak terjadi sesuatu yang menjadi penolakan di masyarakat,” katanya lagi.
“Yang kalau dibilang tidak boleh ada perbuatan asusila terpublikasi atau dilakukan di THM, ya buat kebijakan di THM-nya supaya bisa mengatur itu. Yang mengikatnya bukan cuma LGBT, tapi semua orang,” Azis menyudahi.
Isu LGBT di Makassar kembali mencuat setelah viralnya video dua pria berciuman di suatu tempat hiburan malam pada 23 April 2025 lalu. Wali Kota Munafri Arifuddin kemudian merespons kejadian itu lewat wacana ranperda anti-LGBT.
Munafri menganggap perilaku itu sebagai aktivitas yang menyimpang dan bertentangan dengan moralitas. “Kami akan mendorong adanya perda (anti) LGBT. Tidak bagus untuk generasi kita,” katanya kepada wartawan di Balai Kota Makassar, Kamis, 24 April 2025.
Editor: Sahrul Ramadan