Bollo.id — Di ujung teras rumah di Desa Limapoccoe, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, beberapa kelapa kupas terkumpul. Kelapa-kelapa itu merupakan penghidupan Lawiyah, ibu yang kini menjalani hidup tanpa kehadiran anak-anaknya.
Kelapa hijau yang sudah dikupas itu Lawiyah beli dari anaknya yang merantau di Kalimantan. Meski bisa saja diberikan secara cuma-cuma, Lawiyah tetap memilih membayar kelapa yang anaknya bawa jika pulang kampung.
Meski telah tinggal di kampung orang lain, anaknya itu masih mengunjungi ibunya di kampung minimal sekali setahun. Kalau ada acara keluarga, ia bisa mengunjungi ibunya hingga tiga kali setahun.
Wanita 60 tahun itu telah ditinggal pergi empat anaknya untuk merantau. Mereka meninggalkan kampung halaman setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kampungnya, Desa Limapoccoe.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Anak pertamanya yang merantau kurang lebih empat dekade dan kini telah menjadi warga negara Malaysia. Dua lainnya merantau ke Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Ketiganya merantau demi mengubah nasib keluarga.
Pilihan pekerjaan yang terbatas membuat banyak warga muda Limapoccoe pergi mencari hidup di luar daerah. Keluarga Lawiyah juga memilih jalan itu.
Lawiyah menyadari lapangan kerja yang kurang di kampung. Ia menyarankan anak bungsunya juga ikut merantau. “Tidak ada di sini apa-apa,” katanya saat merujuk ke macam-macam pekerjaan di kampung, Rabu, 9 Juli 2025.
Ia bahkan mengingat aktivitas saat masa kecil dulu. Bila umumnya, anak-anak kecil banyak menghabiskan waktu untuk bermain, tidak dengan Lawiyah.
Sejak kecil, ia bergelut dengan pekerjaan membantu orang tuanya membasahi padi di sawah. “Tidak (banyak waktu) main-main karena pergi angkat air (untuk) sawah,” katanya saat ditanyakan waktu bermain kanak-kanak.
Lawiyah muda, lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang tuanya di sawah sepanjang hari. Selain bertani, keluarganya juga berkebun. Mereka menanam kakao.
Penghidupan Kini
Satu dari sebelas anak yang mewarisi rumah orang tuanya, adalah Lawiyah. Ia kini tinggal berdua dengan bapaknya di rumahnya. Rasa rindu terkadang mendekapnya saat menyapu di sudut rumah atau ketika aroma masakan memenuhi dapur.
Penyebab kerinduannya adalah rantau. Ia tahu, merantau adalah jalan yang mereka pilih dan jalan yang juga ia sarankan demi masa depan. Sekarang, sawah padi dan kebun kakao yang dulu diurus perlahan ditinggalkan karena faktor usia. Sebagai gantinya, ia beralih menjual kelapa parut sangrai.
Kelapa parut kering saat ini menjadi modal jualannya setelah tidak bisa lagi mengurus dan mengelola lahan pertanian dan kebunnya. Isi kelapa itu diparut, dikeringkan, lalu digoreng.
Setiap minggu, Lawiyah memilah kelapa—baik itu kelapa kupas yang biasa atau kelapa yang dibelinya dari anaknya. Kemudian, ia mengikis daging kelapa dengan parutan hingga menjadi serpihan putih.

Serpihan itu kemudian dijemur di bawah terik matahari. Perlahan berubah menjadi butiran kering yang siap untuk disangrai dalam wajannya. “Sebentar kalau kering-kering ini diambil, digoreng” katanya.
Dalam seminggu, ia bisa mengeringkan kelapa parut tiga kali. “Hari Minggu, hari Senin, hari Kamis” katanya. Ia menjaga kelapanya yang dijemur dari gangguan ayam atau hewan lain. Apalagi hujan.
Menjaga kelapa yang dikeringkan menjadi agenda lain kerjaannya sebagai penjual kelapa sangrai. Kelapa sangrai itu dijual Rp10 ribu per kantong. Kelapa itu itu dijual ke pasar di Kecamatan Camba. Ia harus menempuh jarak 12 kilometer perjalanan setiap dua kali seminggu.
Dari kelapa, Lawiyah terus hidup. Ia menjaga rumah, menjaga ingatan, dan menjaga harapan bahwa rezeki anak-anaknya di rantau adalah bagian dari rezekinya juga.
Editor: Sahrul Ramadan