Hutan kota, Universitas Hasanuddin (Unhas)/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id
Hutan kota, Universitas Hasanuddin (Unhas)/Foto: Andi Audia Faiza Nazli Irfan/Bollo.id

Hutan Kota: Antara Penyerap Karbon dan Pencitraan Hijau

Hutan kota mengurangi efek urban heat island, suhu yang lebih panas. Semakin sedikit RTH, semakin kurang kemampuan kota menyerap karbon.

Bollo.id — Hutan kota adalah kawasan hijau dengan pepohonan yang ada di wilayah kota. Tujuan utamanya adalah penghasil oksigen di kota. Sekaligus mengurangi polusi: emisi karbondioksida.

Jika kita berdiam diri sejenak di hutan kota, kita akan merasa tenang dan lega karena udara yang lebih segar daripada beberapa tempat di kota. Itu karena hutan kota mengurangi efek urban heat island, yaitu suhu yang lebih panas daripada daerah.

Hutan kota menjadi tempat bersantai dan tempat belajar. Lanskap hijaunya menjadi pemandangan di antara hiruk pikuk kota. Hal itu diungkapkan pelajar yang tengah menikmati suasana hutan kota di lingkungan kampus Unhas. 

“(Hutan kota) membantu ekosistem (kota) jadi seimbang karena udaranya lebih segar. Misal saya yang mual-mual karena bau bensin, asap knalpot, hawa panas, debu jalanan, tetapi pas masuk di Unhas, saya merasa segar udaranya,” kata Juli (23) setelah berkunjung dan singgah di taman Unhas, Sabtu, 30 September 2025.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Namun, apakah hutan kota benar-benar berfungsi di tengah gedung kaca dan bangunan beton perkotaan? 

“Berfungsi, hutan kota, selain estetika, dia juga untuk daya dukung lingkungan, untuk penyerapan karbon di wilayah perkotaan,” kata Fatwa Faturachmat, peneliti Forest and Society Research Group Unhas kepada Bollo.id, Selasa, 2 September 2025.

Dia kemudian menyebut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Proporsi ruang terbuka hijau (RTH) di perkotaan minimal 30 persen dari luas wilayah kota, 20 persen di antaranya adalah RTH publik yang dimiliki dan dikelola pemerintah daerah (misalnya taman kota, hutan kota, jalur hijau).

Pengadaan hutan kota dapat dikaitkan dengan greenwashing. Greenwashing terjadi ketika suatu perusahaan, organisasi, atau pemerintah menggambarkan diri seperti ramah lingkungan, padahal sebenarnya tidak melakukan upaya signifikan untuk melindungi lingkungan.

“Karena pada akhirnya RTH itu dijadikan syarat administrasi. Tidak pernah betul-betul diperhatikan fungsinya karena bukan fungsinya yang mereka kejar, tapi status (ruangnya) yang mengklaim atau melegitimasi daerah memiliki RTH,” jawabnya.

Realitanya, hutan kota yang termasuk RTH memang berfungsi secara ekologis, tetapi tidak sepenuhnya. Semakin sedikit RTH, semakin kurang kemampuan kota menyerap karbon (daya serap karbon).

“(Jika jumlah RTH yang sedikit) dikalkulasi dengan seberapa banyak penciptaan emisi karbon yang diciptakan (kota) per hari, maka RTH tidak,  tentu saja tidak bisa menyerap itu,” katanya. 

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Berita Terbaru