Ilustrasi polisi/Foto: cochranfirm.com
Ilustrasi polisi/Foto: cochranfirm.com

Kisah Para Korban Kesewenang-wenangan Polisi

Lima kasus kekerasan yang dilakukan polisi tak tuntas, meskipun ada salah satu korban meninggal akibat dianiaya

Mata Mawar tiba-tiba memerah. Ia tak kuat membendung air mata ketika bercerita tentang kasus kematian anaknya, Agung Pranata. Memori kelam yang terjadi sembilan tahun lalu itu menyisakan luka yang tak kunjung sembuh. Agung tewas akibat penganiayaan. Pelakunya diduga personel Kepolisian Sektor Ujung Pandang.

“Sampai kapan pun harapan kami untuk mendapat keadilan itu masih ada. Tak peduli berapa lama, saya akan terus menuntut keadilan anakku yang hilang nyawanya saat ditangkap polisi,” ungkap Mawar saat ditemui di rumahnya, Jalan Sukaria, Kelurahan Tamamaung, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Ahad, 21 September 2025.

Amarah perempuan 59 tahun itu masih terawat. Ia kecewa lantaran pelaku penganiayaan anaknya tak kunjung terungkap. Nada bicaranya seketika meninggi ketika mengurai kronologi kejadian. Ia mengingat anaknya tewas dalam kondisi tragis. Tulang leher patah dan bagian kepala remuk. Ada luka lecet yang tersebar di bagian tubuh.

Basri, ayah Agung, yang duduk di samping kiri Mawar saat itu berusaha tegar. Sesekali ia berupaya menenangkan istrinya agar tak kembali bersedih. Basri merupakan pensiunan polisi. Sebagai mantan anggota korps Tribrata, ia paham betul bahwa kematian anaknya tak wajar. Dugaan pelanggaran prosedur penyidikan pun mengemuka.

Agung tewas usai ditangkap anggota Kepolisian Sektor Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, pada 29 September 2016. Polisi menuduhnya terlibat kasus penyalahgunaan narkoba. Proses hukum terhadapnya berlangsung kilat. Saat penyidikan, sejumlah polisi diduga menganiayanya. Agung sempat menjalani perawatan sebelum tewas.


Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.

Donasi melalui: bit.ly/donasibollo


Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan sempat turun tangan mengusut kasus itu. Hasil pemeriksaan mereka berujung penetapan status tersangka terhadap lima polisi. Kelimanya adalah Bripka Cn, As, Ar, Aiptu Sa, dan Aiptu Js. Penyidikan yang bergulir sejak 2019 itu ibarat menubruk tembok tebal. Bekas para tersangka tak pernah sampai ke pengadilan. Alih-alih duduk di kursi pesakitan, mereka justru bisa menghirup udara bebas. Status mereka sebagai tersangka dianulir hakim Pengadilan Negeri Makassar usai menguji permohonan praperadilan yang mereka ajukan.

Hakim menilai barang bukti yang digunakan polisi dalam penyidikan kasus itu dianggap tak cukup dijadikan dasar untuk menetapkan kelima polisi itu sebagai tersangka. Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Salman, menilai putusan itu janggal. “Penilaian itu aneh lantaran sudah masuk dalam materi pembuktian perkara,” kata dia.

Kejanggalan terlihat dalam putusan praperadilan yang menyebut bahwa 27 alat bukti yang dimiliki polisi untuk memperkarakan para penggugat tak memiliki hubungan sebab-akibat dengan kematian Agung. Hakim juga menerima begitu saja pembelaan para penggugat yang mempersoalkan tidak adanya orang yang menyaksikan penganiayaan.

Kesimpulan hakim merujuk pada pemeriksaan berkas perkara dan bukti surat P-1 sampai P-17. Seluruh bukti surat tersebut dianggap tak cukup dijadikan dasar untuk menyimpulkan siapa yang melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat 3 dan Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Upaya penyidik untuk membuktikan adanya penganiayaan juga kandas. Hakim sependapat dengan dalil penggugat yang menyebut tidak ada kekerasan pada saat penangkapan. Adapun dugaan kekerasan yang terjadi saat proses penyidikan dimentahkan hakim berdasarkan keterangan ahli forensik Polri.

“Menimbang bahwa ahli forensik yang relevan mengatakan kematian Agung disebabkan karena sesak napas akibat terjatuh dan mengalami trauma di otak. Menimbang bahwa ahli mengatakan luka yang dialami Agung berada di sebelah kiri, yang artinya tidak mungkin dilakukan penganiayaan,” ujar Salman menirukan ucapan hakim.

Salman juga mempertanyakan argumentasi hakim yang mengaku telah memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyempurnakan pembuktian masing-masing. Padahal, pihak keluarga maupun tim LBH Makassar tidak pernah dihadirkan untuk dimintai keterangan. “Kami tak pernah dihadirkan untuk menguatkan pembuktian,” kata dia.

Menurut Salman, penyidikan kasus kematian Agung masih bisa berjalan tanpa terpengaruh putusan pengadilan. Sebab, materi gugatan para tersangka hanya mempersoalkan prosedur penetapan tersangka. Hakim tak memiliki kewenangan menguji substansi perkaranya. “Peluang penyidikan masih terbuka lebar,” kata dia.

Dalam kasus Agung, kata Salman, penyidik Polda Sulsel bisa mengulangi lagi proses untuk menetapkan siapa yang seharusnya jadi tersangka. Namun peluang itu kini terkubur. Penyidik di Polda Sulsel belakangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus kematian Agung. Berkas penyidikan kelima tersangka sejak itu tutup buku.

Salman mengaku tengah mengkaji peluang untuk membuka kembali perkara itu. Sebab, tim hukum LBH Makassar maupun keluarga korban mengantungi banyak petunjuk yang mengindikasikan adanya pelanggaran prosedur selama proses penangkapan maupun penahanan. “Kasus ini masih bisa lanjut, nanti kita upayakan,” ujarnya.

Keterangan itu di antaranya diperoleh dari sepupu Agung yang dibawa bersama Agung pada malam penangkapan 29 september 2016. Sesaat sebelum digelandang ke kantor polisi, kedua mata mereka ditutup dengan kain. Ibu kandung Agung, Mawar, mengaku baru mengetahui kejadian itu sejam setelah penangkapan.

Agung diciduk dari rumah kediaman neneknya di Minasaupa, Kota Makassar. Malam itu, kata Mawar, waktu menunjukan pukul 02.00 WITA lewat beberapa menit. Para penghuni rumah yang mengethui kejadian itu tak ada yang mengetahui ke mana polisi membawa pergi keduanya. “Malam itu hampir semua polsek di Makassar saya kunjungi,” kata dia.

Mawar sempat mengecek keberadaan anaknya di Polsek Panakkukang dan Polsek Mariso. Namun jejak keberadaan anaknya tak diketahui petugas jaga. Ia lalu berninisiatif menyambangi kantor Polrestabes Makassar. Hasilnya sama. Belakangan diketahui, Agung menjalani penahanan di ruang tahanan Polsek Ujung pandang.

Mawar yang ditemani tiba di kantor Polsek sekitar pukul sepuluh pagi. Istri Agung, Fathilan, ikut menemaninya. Ikhtiar untuk menjenguk Agung hari itu pupus. Polisi tak memberi izin dan menyarankan mereka untuk menunggu. “Kami belum tidur sejak semalam dan menunggu di area pos penjagaan hingga pukul 13.00 WITA,” tuturnya.

Tidak lama seorang polisi menemui Mawar dan memintanya beli makanan.”Waktu itu saya bilang mau lihat saja kondisinya anakku, tapi tidak dikasih izin ketemu alasannya itu Agung masih diambil keterangan. Jadi saya tunggu terus itu sampai datang polisi bilang beli makanan karena agung lapar, jadi saya pikir agung baik-baik,” ungkap Mawar.

Setelah pergi membeli makanan, Mawar dan Fathilan kembali lagi ke Polsek. Mereka meminta lagi agar bisa melihat kondisi Agung. Namun tetap saja petugas penjagaan Polrestabes tidak memberikan izin mereka menjenguk. Karena gagal bertemu, keduanya lantas memilih pulang ke rumah di Minasaupa untuk istirahat.

Tidak berselang lama, Mawar kembali lagi ke Polsek Ujung Pandang. Seorang polisi memberitahu mereka bahwa Agung sudah dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Bhayangkara karena tidak sadarkan diri. Mawar dan Fathilan bergegas menuju RS Bhayangkara. Anehnya, tidak satupun petugas rumah sakit yang mengetahui keberadaan Agung.

Keduanya kembali lagi ke Polsek untuk memastikan ruang perawatan Agung. Usai mendapatkan keterangan, mereka kembali lagi ke rumah sakit. Mawar terperanjat kaget ketika mengetahui kondisi anaknya yang kritis. Agung tak sadarkan diri. Alat bantu pernapasan menempel di wajahnya. Detak jantungnya melemah.

Mawar meradang ketika menyaksikan luka di sekujur tubuh anaknya. Bentuknya menyerupai luka bekas seretan. Seorang personil polisi Polsek Ujung Pandang yang menjaga perawatan Agung lantas ia datangi “Saya teriak di situ, saya tanya kenapa anakku tadinya sehat dan kenapa bisa sampai begini, saya tuntut kamu,” cerita Mawar.

“Jadi itu di rumah sakit bajunya sudah diganti, itu baju yang dia pakai bukan punyanya itu. Itu bagian leher belakang patah, bagian ubun-ubunnya penyet masuk kedalam. Jadi saya pegang tangannya, saya bilang agung kalau masih dengar suaranya mama kasih tanda nak, mama ada disini,” sambungnya.

Mawar mengatakan, saat itu dia terus memegang tangannya Agung, ia terus memberikan isyarat agar bisa direspon oleh Agung. Hingga akhirnya beberapa menit sebelum memasuki pukul 02.55 Wita dinihari, Mawar mengingat kembali hari kelahiran Agung. Di saat itu jugalah Agung menghembuskan nafas terakhirnya.

“Disitu saya ingat, hari kelahirannya, sama itu jamnya tepat jam 2 lewat 55 menit itu langsung mesinnya (ventilator) berhenti,” kata dia. Tak lama seorang perawat datang. “Ia mengatakan Agung sudah tidak ada dan meminta keluarga untuk mendoakannya,” ujar Mawar sambil mengusap air mata, dan menahan kesedihannya.

Agung dikuburkan di Rannaya, Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan pada Maret 2017. Polisi baru membuka peluang penyidikan setelah kejanggalan atas kematian Agung ramai diberitakan. Kuburannya sempat dibongkar tim Dokter dari Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Labfor Mabes Polri untuk keperluan ekshumasi.

Mawar hanya mengetahui sekelumit penjelasan dari Fathilan sesaat sebelum Agung di bawa polisi. Fathilan yang sedang menggendong anaknya tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan sejumlah personil polisi. Mereka langsung menangkap Agung atas tuduhan kasus penggunaan obat-obatan terlarang dan pelaku pencurian.

Polisi sempat menyita sejumlah barang bukti seperti uang jutaan rupiah, barang elektronik seperti ponsel dan tablet. Barang-barang tesebut belakangan dikembalikan lagi ke istri Agung tak lama setelah penyidikan kasus dugaan penganiayaan anaknya dihentikan oleh Polda Sulsel. “Barang itu milik Agung dan istrinya,” ujar Mawar.

“Coba bayangkan, ini bukan mau apa-apa ya tapi kami sebagai keluarga polisi, suamiku masih polisi aktif waktu itu (perwira) dan dikasih begitu apalagi masyarakat biasa. Makanya saya bilang kasusnya agung ini kita cari sampai ke pengadilan. Sampai kapanpun ini kasus saya akan ikut,” jelas Mawar.

Pakar hukum pidana Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Heri Tahir mempertanyakan upaya praperadilan yang diambil kelima tersangka. Menurut dia, kasus yang terjadi 2016 kemudian penetapan tersangka 2019, dan praperadilan 2021 adalah hal yang sangat aneh lantaran melampaui batas waktu penyidikan yang ditetapkan selama 60 hari.

Ia juga mempertanyakan Keputusan penyidik Polda yang menerbitkan SP3 di kasus kematian Agung. Heri menilai seharusnya polisi tak menjadikan putusan praperadilan untuk menggugurkan upaya penyidikan kasus tersebut. “Putusan praperadilan seharusnya tidak bisa menggugurkan materi pokok perkara,” ujarnya.

Terpisah, pihak penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulawesi Selatan pun memastikan, kasus kematian Agung telah ditutup pasca praperadilan dengan diterbitkannya SP3. Polisi belum menemukan petunjuk baru untuk membuka kembali perkara itu.

“Perkara tersebut kan telah dihentikan penyidikan (SP3), itu dengan alasan penghentian karena tidak cukup bukti. Atas penghentian penyidikan tersebut juga sudah dimohonkan praperdilan dan putusan pengadilan menolak permohonan pemohon,” kata Kepala Subdit 1 Kamneg Polda Sulsel, AKBP Benyamin.

Benyamin menyebutkan, dalam praperadilan itu menguji tentang penetapan tersangka, kemudian menghentikan penyidikan termasuk penyitaan. “Karena ada beberapa petunjuk jaksa penuntut umum yang tidak mampu tim penyidik penuhi. Makanya dasar itulah dilakukan proses gelar perkara khusus untuk kemudian diterbitkan SP3,” tutupnya.

Lima Kasus Kekerasan Personel Polisi

Selain kasus kematian Agung, LBH Makassar mencatat empat kasus kekerasan yang dilakukan polisi dalam 10 tahun terakhir. “Kasus kekerasan aparat sebenarnya banyak. Tapi yang masuk pengaduan dan kita tangani ada lima kasus. Kasus Agung dan penganiayaan Yusuf Saputra merupakan beberapa di antaranya,” kata Salman.

Yusuf, 20 tahun, merupakan korban kekerasan polisi. Ia ditangkap personel Polrestabes Makassar pada Mei 2025. Pemuda asal Galesong, Kabupaten Takalar, ini mengalami kekerasan. Kasus tersebut kini tengah ditangani tim penyidik Propam Polrestabes. Mereka yang diduga memeras dijatuhi sanksi penempatan khusus.

Kasus ini terungkap setelah Yusuf berani berbicara ke media. Dia mengaku telah menjadi korban penganiayaan sekaligus pemerasan personel polisi yang bertugas di Polrestabes Makassar. Kejadian itu telah ia laporkan ke Polres Takalar. Laporannya kini tengah ditindaklanjuti polisi lewat proses penyidikan.

Berdasarkan pengakuan Yusuf, penganiayaan dan pemerasan itu dialaminya saat ia sedang nongkrong di Lapangan Galesong, Takalar, pada Selasa malam, 27 Mei 2025. “Sekitar pukul 22.00 WITA, tiba-tiba datang sekitar enam orang, lalu menodongkan senjata ke kepala saya lalu langsung pukuli saya,” kata dia.

Usai di todong senjata, Yusuf mengaku dipaksa ikut dan di bawa ke tempat sepi menggunakan mobil. Sampai di lokasi yang sepi, ia kemudian diikat dan dipukuli bahkan hingga ditelanjangi oleh polisi. “Saya di paksa ikut mereka, kemudian di bawah ke tempat sepi, di tempat sepi itulah saya diikat dan dianiaya, terus disuruh buka semua pakaian ku, mulai dari baju, celana, hingga celana dalam saya. Saya ditelanjangi sama itu polisi,” ungkapnya.

Tak hanya itu, menurut Yusuf, dirinya juga dipaksa mengakui paket diduga narkoba yang dibawa oleh Bripda A sebagai miliknya. Namun Yusuf bersikeras tidak mau mengakui maupun memegang barang haram tersebut meskipun berulang kali dianiaya.

Penganiayaan, kata Yusuf, berlanjut hingga hampir tujuh jam lamanya. Dia ditangkap pada malam hari dan baru dilepas setelah pihak keluarganya dimintai uang tebusan oleh oknum polisi yang membawanya. “Jadi mereka minta dulu uang 15 juta, tapi dari keluarga saya tidak punya uang sebanyak itu. Jadi beberapa saat kemudian mereka turunkan jadi sisa 5 juta, tetapi tetap keluarga tidak sanggup. Akhirnya mereka minta berapa saja yang ada, jadi terpaksa keluarga berikan uang 1 juta,” Yusuf menambahkan.

Pengacara LBH Makassar Salman mengatakan kasus Takalar sudah mereka dampingi dari awal. Dugaan pidananya berjalan setelah adanya laporan di Polres Takalar. Enam anggota tersebut diketahui sudah menjalani sidang etik usai laporan yang mereka buat ke Polrestabes Makassar.

Menurut Salman, penanganan perkara itu tak lagi intens. Komunikasi mereka dengan pihak keluarga korban terputus di tengah proses penyidikan. Pegiat hukum LBH Makassar itu menduga ada upaya dari kepolisian untuk mengintervensi kasus ini. “Ada pihak yang tak ingin kasus tersebut sampai ke pengadilan,” kata dia.

Sementara itu pihak Polrestabes Makassar menepis dugaan intervensi. Karena menurut pihak Propam, untuk proses kode etik masih tetap jalan, termasuk juga proses pidana keenam polisi di Polres Takalar. “Bukan intervensi tapi ada kata perdamaian, tetapi itu jadi pertimbangan saja. Tapi kita untuk kode etik tetap lanjut, termasuk kan juga (pidana) di takalar kan masih di proses,” ungkap Kepala Seksi Propam Polrestabes Makassar, Kompol Ramli dikonfirmasi.

Ramli memastikan kedua proses hukum itu akan tetap lanjut sebagai komitmen agar menjadi pelajaran kepada seluruh anggota Polrestabes yang sedang ataupun akan bertugas di lapangan nanti. “Kita ini tidak mau main-main, kita berkomitmen untuk hasilnya nanti diperlihatkan kepada anggota bahwa kita serius menindak, agar ada efek jera ke anggota yang mau main-main,” tegas Kompol Ramli.

Artikel ini adalah liputan kolaborasi sejumlah jurnalis di Makassar, Sulawesi Selatan


Artikel dipublikasikan tim redaksi Bollo.id

Tinggalkan balasan

Your email address will not be published.

Terbaru dari Laporan Mendalam