Bollo.id — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai ada kejahatan ketenagakerjaan yang dilakukan perusahaan yang berada dalam naungan Huadi Group. Ditandai dengan keluarnya memo penghentian produksi sementara perusahaan.
“Menghentikan operasional perusahaan menurut kami menegaskan adanya kejahatan ketenagakerjaan yang dilakukan kepada buruh,” kata Hasbi Asiddiq advokat publik (YLBHI) LBH Makassar kepada Bollo.id, Minggu, 20 Juli 2025.
Ia menjelaskan, pada 1 Juli 2025, PT Huadi Wuzhou Nickel Industry yang merupakan bagian dari Huadi Group, merumahkan 350 buruh. Lalu mereka menghentikan produksi pada 15 Juli 2025. Berakibat pada 1.000 buruh yang dirumahkan.
“Akibat dari hal tersebut, kurang lebih 600 buruh Yatai itu harus berhenti bekerja, tidak jelas statusnya sampai saat ini. Juga termasuk 400 orang kurang lebih dari karyawan PT Huadi, yang belum jelas statusnya menurut informasi dari buruh,” jelas Hasbi.
“Jadi total kurang lebih ada 1.350 buruh yang tidak jelas statusnya oleh perusahaan,” tambahnya. LBH Makassar menilai ‘dirumahkan’ merupakan istilah Huadi untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terselubung, karena dilakukan secara sepihak.
Selama ini, Hasbi mengungkapkan Huadi telah melakukan kejahatan ketenagakerjaan dengan tidak membayar upah lembur buruh secara penuh sesuai aturan. Buruh yang bekerja 12 jam, hanya dibayar delapan jam.
Bollo.id adalah media independen dan tidak dikuasai oleh investor. Sumber keuangan kami tidak berasal dari industri ekstraktif atau pihak-pihak yang memiliki afiliasi dengan industri tersebut. Dukung kami dengan berdonasi, agar bollo.id terus bekerja demi kepentingan publik.
Donasi melalui: bit.ly/donasibollo
Sebanyak 20 buruh telah melaporkan hal tersebut ke Dinas Ketenagakerjaan. Pengawas Dinas Ketenagakerjaan Sulawesi Selatan pun telah mengeluarkan penetapan, bahwa Huadi melakukan pelanggaran.
Di antara 20 buruh itu, ada yang kekurangan upah dari kerja lembur yang tak dibayar. “Untuk 20 orang itu, yang harus dibayarkan perusahaan mencapai Rp983 juta,” terangnya.
“Itu sudah ada penetapan Ketenagakerjaannya,” sambungnya Koordinator Bidang Ekosob LBH Makassar ini.

Itu, kata Hasbi, baru 20 buruh. Sementara pada dasarnya, sistem kerja 12 jam tapi yang dibayarkan hanya delapan jam terjadi pada sebagian besar buruh.
“Pada praktiknya itu, dilakukan pada sebagian besar buruh. Berbasis pada sistem 12 jam kerja tanpa istirahat, dan ada 8 jam per hari yang reguler, tanpa jam istirahat mingguan,” ungkapnya.
Para buruh, sejak berita ini ditulis sudah melakukan aksi pendudukan selama sembilan hari di gerbang utama Huadi. Mereka memasang tenda dan menginap di sana.
Pihak perusahaan sendiri, mengklaim aktivitas produksi sejumlah smelter berhenti karena aksi tersebut. Namun buruh membantahnya.
Melalui Serikat Buruh Industri Pertambangan (SBIPE) Bantaeng, buruh telah resmi melaporkan adanya dugaan tindak pidana ketenagakerjaan yang dilakukan oleh PT Huadi Nickel Alloy di Polres Bantaeng.
Dalam laporan, buruh melaporkan Jos Stefan Hideky selaku Direktur Utama PT Huadi Nickel Alloy Indonesia sebagai Penanggung Jawab dan Pengambil Keputusan terkait dengan Hak Buruh pada Perusahaan.
Selain itu, dilaporkan pula Andi Adrianti Latippa selaku Head of Div HRGA dan HSE PT Huadi Nickel Alloy Indonesia sebagai Manajemen dan pimpinan yang bertanggung jawab untuk Pengambil Keputusan terkait dengan Hak Buruh pada Perusahaan.
Dua laporan ini masing-masing terkait dugaan tindak pidana terkait pembayaran upah dibawah minimum serta tidak dibayarkannya upah lembur kepada pekerja.
Sementara itu, Direktur Utama PT Huadi Nickel Alloy Indonesia Jos Stefan Hideky membantah adanya PHK. Ia menegaskan berhentinya produksi sejumlah smelter karena aksi yang dilakukan.
“Perusahaan tidak pernah melakukan PHK massal karyawan sebagaimana yang diberitakan atau disebarluaskan oleh Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi. Kenyataannya, mereka (SBIPE Bantaeng) mengajak para pekerja menutup akses,” tegas Jos Stefan Hideky dikutip dari keterangannya.
“Mereka memblokir jetty dan akses pabrik perusahaan di Kawasan Industri Bantaeng yang masih merupakan Proyek Strategis Nasional. Ekspor kami gagal,” tambahnya.
Editor: Sahrul Ramadan